Permendikbudristek Sudah Terbit, Puspeka: Korban KS dan Rudapaksa Berani Lapor

Aturan ini diterbitkan untuk untuk mengakselerasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Penulis: Redaksi | Editor: Donny Yosua
IST/Kompas
Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) sekaligus mantan CEO GoJek Indonesia, Nadiem Makarim. 

Hal ini menegaskan bahwa meskipun angka kekerasan seksual didominasi perempuan sebagai korban, siapapun tetap dapat menjadi korban termasuk laki-laki.

Staff divisi perempuan & anak LBH Makassar, Rezki Pratiwi, menjelaskan, pada September 2021, juga terjadi hal yang sama bahkan kepada kaum disabilitas.

"Ada 2 kasus kekerasan seksual terhadap anak dan disabilitas yang difasilitasi, tapi dicabut laporan oleh polisi, diklaim sebagai penerapan Restorative Justice (RJ)," jelasnya.

 

 

Sementara dalam aturan polisi sendiri, praktik ini tidak dapat dibenarkan.

Misalnya pada Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan
Keadilan Restoratif, salah satu syarat disebutkan untuk menerapkan RJ adalah perbuatan pelaku tidak
menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat.

Lanjutnya ia menjelaskan, dengan merujuk ketentuan UU Perlindungan Anak dan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), praktik itu menyalahi aturan.

Bahkan di tahun 2022 lalu, kasus yang dialami mahasiswa Universitas Muhamadiyah (Unismuh) Makassar, yang sementara Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kabupaten Gowa juga mengalami kekerasan seksual.

Hasil penelusuran LBH Makassar dan YESMa, yang membut miris, banyaknya fenomena-fenomena penyelesaian kekerasan seksual (KS) melalui cara-cara yang lazimnya disebut "secara kekeluargaan".

Rezki Pratiwi mengatakan, penyelesaian secara kekeluargaan ini dalam praktiknya tidak memberikan keadilan dan pemulihan keadaan korban, serta justru berorientasi pada kepentingan pelaku.

"Selain oleh masyarakat, praktik ini sering dilegitimasi juga oleh aparat penegak hukum lewat klaim Restorative Justice (RJ)," jelasnya.

RJ ini juga tidak diperbolehkan, merujuk pada undang-undang yang belum lama ini disahkan yaitu UU Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual (TPKS).

Jika tetap dilakukan RJ, maka banyak ketentuan yang dilanggar.

 

Baca juga: Fenomena Penyelesaian KS dan Rudapaksa Secara Kekeluargaan di Sulsel, Buntung Bagi Korban

 

Ketua YESMa, Leninda, mengatakan sangat tidak setuju kalau KS diselesaikan secara kekeluargaan, karena ini akan semakin memberi ruang bagi pelaku untuk melakukan hal yang sama, tanpa ada efek jera, dan parahnya korban bisa menjadi trauma.

"Sesuai Pasal 23 UU TPKS menyatakan, Perkara TPKS tidak dapat dilakukan penyelesaian diluar proses sidang, kecuali pelakunya masuk kategori anak sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku," tutupnya.

Ironisnya, dari beberapa kasus rudapaksa, pelakunya justru orang terdekat korban. Dari kakeknya, pamannya, sepupunya, kaka ipar, tetangganya, bahkan ada guru mengajinya.

Beberapa waktu lalu, LBH Makassar, merilis buku panduan mendukung korban kekerasan seksual.

Yang isinya membahas soal akar kekerasan seksual jenis (KS) dan bagaimana menjadi support system bagi korban.

Serta ada juga layanan-layanan pendukung bagi KS dari layanan bantuan hukum, medis, psikologis, rumah aman, dan lain sebagainya.

(*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved