Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Sejarahwan UGM Ingatkan Bahaya Otoritarianisme

Sejarawan UGM mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, karena berpotensi...

Penulis: Redaksi | Editor: Donny Yosua
Wikimedia Commons
PAHLAWAN NASIONAL - Presiden RI ke-2, Soeharto. Terkini, Soeharto kembali diusulkan menjadi Pahlawan Nasional. 

TRIBUNTORAJA.COM – Rencana pengusulan Presiden ke-2 RI, HM Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional kembali memunculkan perdebatan publik.

Meski diakui berjasa besar dalam pembangunan ekonomi dan menjaga stabilitas nasional, sejumlah kalangan menilai langkah ini berisiko mengaburkan catatan kelam pelanggaran demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) selama masa Orde Baru.

Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM), Wildan Sena Utama, mengingatkan agar pemerintah dan masyarakat tidak terjebak dalam glorifikasi sejarah yang hanya menyoroti sisi positif pemerintahan Soeharto.

 

 

“Kita harus berhati-hati. Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bisa menormalkan kembali praktik otoritarianisme dan pelanggaran kebebasan sipil yang pernah terjadi,” ujar Wildan dikutip dari NU Online, Senin (27/10/2025).

Menurutnya, masa pemerintahan Soeharto selama lebih dari tiga dekade meninggalkan dampak besar terhadap perjalanan demokrasi Indonesia.

Selain keberhasilan di bidang ekonomi dan stabilitas nasional, era Orde Baru juga ditandai dengan pembungkaman pers, pelarangan organisasi, hingga praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mengakar.

 

Baca juga: Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Fadli Zon: Sudah Sesuai Prosedur

 

“Kebijakan represif dan militerisasi kehidupan sipil adalah bagian nyata dari sejarah yang tidak bisa dihapus. Jika gelar pahlawan diberikan, ada risiko masyarakat hanya mengenang sisi baiknya dan melupakan luka kolektif yang masih dirasakan hingga kini,” tambah Wildan.

Wildan juga menilai, pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional dapat menciptakan preseden berbahaya bahwa pelanggaran prinsip demokrasi bisa ditoleransi atas nama pembangunan. Ia mendorong agar proses penilaian dilakukan secara etis dan berimbang, tidak hanya administratif.

“Kita tidak boleh menilai hanya dari keberhasilan pembangunan ekonomi, tapi juga harus mengingat kerusakan sosial, politik, dan ekonomi yang diwariskan,” tegasnya.

 

Baca juga: Kemensos Usulkan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Gus Ipul: Sudah Penuhi Syarat Dewan Gelar

 

Sumber: Kompas.com
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved