Permendikbudristek Sudah Terbit, Puspeka: Korban KS dan Rudapaksa Berani Lapor
Aturan ini diterbitkan untuk untuk mengakselerasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Penulis: Redaksi | Editor: Donny Yosua
TRIBUNTORAJA.COM, JAKARTA - Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sudah diterbitkan.
Aturan ini diterbitkan untuk untuk mengakselerasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek, Rusprita Putri Utami mengungkap, aturan ini efektif dalam mencegah kekerasan seksual di lingkungan kampus.
"Dari pemantauan yang dilakukan, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi ini cukup efektif dalam mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual di perguruan tinggi," ujar Rusprita melalui keterangan tertulis kepada Tribun News, Kamis (19/1/2023).
Rusprita melanjutkan, para korban berani untuk melapor usai diterbitkannya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021
Bahkan, para pelaku kekerasan seksual di kampus juga sudah mendapatkan sanksi.
"Terbukti, setelah diterbitkannya Permendikbudristek ini, para korban kekerasan seksual berani berbicara dan melaporkan tindakan kekerasan yang mereka alami, dan beberapa pelaku yang terbukti bersalah telah mendapatkan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan,” ungkap Rusprita.
Menurutnya, kasus kekerasan seksual masih kerap terjadi di satuan pendidikan.
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, menurut Rusprita, merupakan bagian dari langkah pencegahan.
“Hal ini penting mengingat dampak negatif kekerasan seksual dapat bersifat jangka panjang dan memengaruhi proses belajar serta aktualisasi diri dari peserta didik,” ujar Rusprita.
Seperti dikutip dari Kompas.com, berdasarkan laporan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam Rapat Kerja Bersama Komisi III DPR RI pada Senin (16/1) menyebut bahwa permohonan perlindungan kasus kekerasan terhadap anak meningkat sebesar 25,82 persen.
Tahun 2021, terdapat temuan 426 kasus dan meningkat pada tahun 2022 menjadi 536 kasus.
Pada tahun 2020, terdapat 88 persen kasus kekerasan seksual yang diadukan ke Komisi Nasional (Komnas) Perempuan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan.
Berdasarkan laporan yang diadukan ke Komnas Perempuan tahun 2015 hingga 2020, 27 persen kasus kekerasan seksual terjadi pada jenjang perguruan tinggi.
Baca juga: Kenali YESMa Sebagai Komunitas Perempuan di Tana Toraja
YESMa, Komunitas Perempuan di Tana Toraja

Yayasan Eran Sangbure Mayang (YESMa) merupakan mitra Yayasan Bakti Tana Toraja.
Program utamanya adalah inklusi kerjasama Pemerintah Indonesia dan Australia.
Hal ini disapaikan Officer YESMa, Lenynda Tondok, saat menjadi narasumber dalam podcast Tribun Toraja di kantor Tribun Toraja, Jumat (13/1/2023).
Podcast ini bertajuk "Fenomena Penyelesaian KS dan Rudapaksa Secara Kekeluargaan di Tana Toraja".
Lenynda Tondok mengatakan, YESMa adalah sebuah lembaga yang bergerak di bidang perempuan.
"YESMa adalah sebuah lembaga non-profit yang lebih banyak bergerak di pemberdayaan perempuan dan teman-teman yang termajinalkan," katanya.
Lembaga ini resmi berdiri sejak tiga tahun lalu.
"Kami berdiri dari tahun 2019, dan saat ini kami bekerja untuk sebuah program inklusi," tuturnya.
Baca juga: Fenomena Penyelesaian KS dan Rudapaksa Secara Kekeluargaan di Sulsel, Buntung Bagi Korban
Harapan didirikannya lembaga ini untuk memperjuangkan hak kesetaraan gender.
"Harapan kami, kami bisa lebih banyak membangun kemandirian masyarakat, membangun kesadaran-kesadaran kritis dari masyarakat, untuk mereka dapat melihat apa yang menjadi hak mereka itu mereka bisa perjuangkan, atau ada orang lain yang memperjuangkan," jelasnya.
Selain melaksanakan program organisasi, YESMa juga membuka layanan konseling untuk korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual dan rudapaksa.
"Secara kelembagaan, kami menjalankan program. Di samping itu, kami juga menyediakan layanan konseling dan pembinaan bagi korban-korban kekerasan," tuturnya.
Selain di Tana Toraja, YESMa juga terbuka unuk melayani korban kekerasan perempuan dan anak di wilayah lain, sebagai lembaga terbuka.
"Kami tidak hanya bekerja untuk wilayah Tana Toraja, tetapi kami juga menerima pengaduan dari wilayah lain," imbuhnya.
Baca juga: Kekerasan Seksual Perempuan di Bawah Umur di Enrekang Masih Marak, Pelaku Rata-rata Orang Dekat
Penyelesaian Secara Kekeluargaan, Buntung Bagi Korban

Yayasan Eran Sangbure Mayang (YESMa), LSM yang bergerak dalam bidang sosial kemanusian di Toraja, mencatat setiap tahun ada saja kasus kekerasan terhadap anak yang dikawalnya.
"Untuk Toraja Utara ada 2 kasus yang dikawal YESMa, sedangkan untuk Tana Toraja sebanyak 8 kasus pada 2022," jelas Ketua YESMa Leninda.
Tidak hanya di Toraja, di Sulsel umumnya, kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur seperti gunung es.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHI-LBH Makassar) dalam Catatan Akhir Tahun (Cataru) menjelaskan, pada tahun 2022, terdapat 59 aduan kekerasan seksual dengan sejumlah bentuk kekerasan.
Staf Divisi Hak Perempuan Anak dan Disabilitas, LBH Makassar, Melisa Ervina Anwar, mengatakan, rata-rata korban dalam pengaduannya dapat mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan.
"Jadi bukan hanya satu kekerasan yang dialami para korban, rata-rata ada perhitungan akumulasi kekerasan yang dilakukan pelaku," ungkapnya.
Lanjut ia mengatakan, sepanjang tahun 2022, terdapat 7 kasus kehamilan tidak diinginkan (KTD) sebagai dampak dari rudapaksa ataupun gang-rape, hingga eksploitasi seksual.
Terdapat pula 9 kasus Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) yang disertai pemerasan kepada korban.
Selain perempuan dan anak, tercatat pula 1 kasus dengan korban minoritas gender serta 1 kasus dengan korban laki-laki.
Hal ini menegaskan bahwa meskipun angka kekerasan seksual didominasi perempuan sebagai korban, siapapun tetap dapat menjadi korban termasuk laki-laki.
Staff divisi perempuan & anak LBH Makassar, Rezki Pratiwi, menjelaskan, pada September 2021, juga terjadi hal yang sama bahkan kepada kaum disabilitas.
"Ada 2 kasus kekerasan seksual terhadap anak dan disabilitas yang difasilitasi, tapi dicabut laporan oleh polisi, diklaim sebagai penerapan Restorative Justice (RJ)," jelasnya.
Sementara dalam aturan polisi sendiri, praktik ini tidak dapat dibenarkan.
Misalnya pada Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan
Keadilan Restoratif, salah satu syarat disebutkan untuk menerapkan RJ adalah perbuatan pelaku tidak
menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat.
Lanjutnya ia menjelaskan, dengan merujuk ketentuan UU Perlindungan Anak dan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), praktik itu menyalahi aturan.
Bahkan di tahun 2022 lalu, kasus yang dialami mahasiswa Universitas Muhamadiyah (Unismuh) Makassar, yang sementara Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kabupaten Gowa juga mengalami kekerasan seksual.
Hasil penelusuran LBH Makassar dan YESMa, yang membut miris, banyaknya fenomena-fenomena penyelesaian kekerasan seksual (KS) melalui cara-cara yang lazimnya disebut "secara kekeluargaan".
Rezki Pratiwi mengatakan, penyelesaian secara kekeluargaan ini dalam praktiknya tidak memberikan keadilan dan pemulihan keadaan korban, serta justru berorientasi pada kepentingan pelaku.
"Selain oleh masyarakat, praktik ini sering dilegitimasi juga oleh aparat penegak hukum lewat klaim Restorative Justice (RJ)," jelasnya.
RJ ini juga tidak diperbolehkan, merujuk pada undang-undang yang belum lama ini disahkan yaitu UU Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual (TPKS).
Jika tetap dilakukan RJ, maka banyak ketentuan yang dilanggar.
Baca juga: Fenomena Penyelesaian KS dan Rudapaksa Secara Kekeluargaan di Sulsel, Buntung Bagi Korban
Ketua YESMa, Leninda, mengatakan sangat tidak setuju kalau KS diselesaikan secara kekeluargaan, karena ini akan semakin memberi ruang bagi pelaku untuk melakukan hal yang sama, tanpa ada efek jera, dan parahnya korban bisa menjadi trauma.
"Sesuai Pasal 23 UU TPKS menyatakan, Perkara TPKS tidak dapat dilakukan penyelesaian diluar proses sidang, kecuali pelakunya masuk kategori anak sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku," tutupnya.
Ironisnya, dari beberapa kasus rudapaksa, pelakunya justru orang terdekat korban. Dari kakeknya, pamannya, sepupunya, kaka ipar, tetangganya, bahkan ada guru mengajinya.
Beberapa waktu lalu, LBH Makassar, merilis buku panduan mendukung korban kekerasan seksual.
Yang isinya membahas soal akar kekerasan seksual jenis (KS) dan bagaimana menjadi support system bagi korban.
Serta ada juga layanan-layanan pendukung bagi KS dari layanan bantuan hukum, medis, psikologis, rumah aman, dan lain sebagainya.
(*)
YESMa
Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi
Pusat Penguatan Karakter
kekerasan seksual
Rudapaksa
Dulu Rebut Istri Orang, Kini Bripka ML Nyaris Rudapaksa Tahanan Perempuan Polres Luwu |
![]() |
---|
Pernikahan Anak di Tana Toraja Jadi Sorotan, YESMa Dorong Media Suarakan Lewat Berita |
![]() |
---|
Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Jalani Sidang Perdana di Kupang atas Kasus Kekerasan Seksual Anak |
![]() |
---|
Sebut Peristiwa Pemerkosaan dalam Tragedi Mei 1998 Hanya Rumor, Fadli Zon: Bukan Massal |
![]() |
---|
Fadli Zon Sebut Kasus Pemerkosaan Mei 1998 Hanya Rumor, Kontras Tuntut Permintaan Maaf |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.