Ketua DPRD Toraja Utara Tanggapi Tuntutan Gematur Soal Pernyataan Pandji

Mendorong DPRD memperketat pengawasan terhadap perlindungan adat, sebagaimana diatur dalam Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945.

Editor: Imam Wahyudi
Tribun Toraja/Lilianti Ariyani Saalino
DEMO - Gerakan Mahasiswa Toraja (Gematur) mendatangi DPRD Toraja Utara, Rabu (5/11/2025) pagi WITA. Mereka menuntut klarifikasi dan langkah tegas terhadap ucapan Pandji Pragiwaksono yang dianggap melecehkan budaya Toraja. 

Dalam cuplikan itu, Pandji menyebut bahwa banyak warga Toraja jatuh miskin akibat memaksakan diri menggelar pesta kematian, bahkan menggambarkan jenazah keluarga yang belum dimakamkan dibiarkan terbaring di ruang tamu, tepat di depan televisi.

Ketua Perhimpunan Masyarakat Toraja Indonesia (PMTI) Makassar, Amson Padolo, menjadi salah satu yang paling vokal menyuarakan keberatan.

“Kami sangat menyayangkan seorang tokoh publik berpendidikan seperti Pandji menjadikan adat Toraja sebagai bahan lelucon,” ujar Amson saat dihubungi Tribun Toraja, Minggu (2/11/2025) malam WITA.

“Ada dua hal yang membuat kami terluka. Pertama, pernyataannya bahwa banyak warga Toraja jatuh miskin karena pesta adat. Kedua, anggapan bahwa jenazah disimpan di ruang tamu atau depan TV. Itu tidak benar dan sangat menyinggung,” tegasnya.

Amson menjelaskan, dalam tradisi Toraja, jenazah tidak pernah disimpan sembarangan.

Bila keluarga belum siap menggelar upacara Rambu Solo’, jenazah akan disemayamkan di ruang khusus dengan penghormatan penuh.

“Kalau keluarga memang belum mampu, akan ada kesepakatan bersama untuk memakamkan. Tidak pernah ada yang menaruh jenazah di depan TV,” katanya.

Menurutnya, Rambu Solo’ bukan pesta kemewahan, melainkan bentuk penghormatan terakhir kepada orang yang telah meninggal dunia.

Prosesi ini mencerminkan nilai-nilai gotong royong, kasih sayang, dan solidaritas sosial yang kuat di tengah masyarakat Toraja.

“Esensi Rambu Solo’ itu penghormatan kepada orang tua atau kerabat yang telah meninggal,” jelas Amson.

“Ini adalah bentuk akulturasi antara ajaran Aluk Todolo dan nilai kekristenan. Bukan soal pesta atau kemewahan, tapi rasa hormat dan cinta kasih,” ujarnya.

Amson menilai, banyak pihak luar sering salah paham terhadap prosesi adat Toraja karena hanya melihat kemegahannya tanpa memahami makna spiritual di baliknya.

“Pandji seharusnya memahami konteks ini sebelum melontarkan candaan yang justru melukai perasaan banyak orang,” tambahnya.

Menurut Amson, humor seharusnya digunakan untuk mendidik dan membangun kesadaran, bukan memperkuat stereotip negatif.

“Tidak semua hal bisa dijadikan bahan tertawaan. Bagi kami, ini bukan lucu, ini menyakitkan. Apalagi diucapkan oleh publik figur,” tegasnya.(lilis)

 

Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved