Vina Cirebon

Pengacara Saka Tatal Pingsan dengar Putusan MA Menolak PK 7 Terpidana Kasus Vina Cirebon

Perkara Eko Ramadhani dan Rivaldi Aditya diadili oleh Ketua Majelis PK, Burhan Dahlan dengan dua anggota majelis

Editor: Imam Wahyudi
tribunnews
Suasana di salah satu hotel di Jalan Wahidin, Kota Cirebon, mendadak penuh isak tangis dan ekspresi kecewa, Senin (16/12/2024). Tangis keluarga usai Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan tujuh terpidana kasus pembunuhan Vina Cirebon. 

TRIBUNTORAJA.COM - Pengacara Saka Tatal dan Sudirman, Titin Prialianti menangis histeris hingga pingsan setelah mendengar putusan Mahkamah Agung yang menolak Peninjauan Kembali (PK) 7 terpidana kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon, Jawa Barat, pada 2016 lalu.

Diketahui, keluarga dan kuasa hukum para terpidana berkumpul untuk menyaksikan siaran langsung putusan Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung, Senin (16/12/2024).

Air mata para keluarga terpidana menetes hingga amarah bercampur keputusasaan meluap.

Dalam putusannya, MA menyatakan menolak PK 7 terpidana.

"Menolak permohonan peninjauan kembali para terpidana (kasus Vina)," kata Juru Bicara Mahkamah Agung, Yanto, Senin (16/12/2024), dikutip dari tayangan YouTube Kompas TV.

Yanto menjelaskan, ada dua pertimbangan majelis hakim menolak permohonan PK tersebut.

 Pertama, tidak terdapat kekhilafan Judex Factie dan Judex Jurist hakim dalam mengadili para terpidana.

"Dan bukti baru atau novum yang diajukan oleh terpidana bukan merupakan bukti baru sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 Ayat 2 huruf A KUHP," ungkapnya.

PK tujuh terpidana itu terbagi dalam dua perkara.

Perkara pertama teregister dengan nomor 198/PK/PID/2024 atas nama Eko Ramadhani dan Rivaldi Aditya.

Perkara Eko Ramadhani dan Rivaldi Aditya diadili oleh Ketua Majelis PK, Burhan Dahlan dengan dua anggota majelis, Yohanes Priyana dan Sigid Triyono.

Sementara itu, PK lima terpidana lainnya, yakni Eka Sandi, Hadi Saputra, Jaya, Sudirman, dan Supriyanto teregister dengan nomor 199/PK/PID/2024.

Adapun PK lima terpidana ini diadili oleh Burhan Dahlan serta dua anggota majelis, Jupriyadi dan Sigid Triyono.

Sebagai informasi, dalam kasus Vina yang terjadi pada 2016 ini, total ada delapan orang terpidana.

Tujuh di antaranya divonis penjara seumur hidup.

Satu terpida lainnya yakni Saka Tatal dihukum delapan tahun penjara.

Adapun Saka Tatal kini telah bebas murni.

Kasus 8 Tahun Lalu

Kasus pembunuhan Vina dan kekasihnya Rizky alias Eki yang dikenal dengan kasus Vina Cirebon telah 8 tahun berlalu.

8 dari 11 yang diduga sebagai tersangka pembunuh Vina dan Eky telah divonis. 7 orang divonis seumur dan 1 orang, yakni Saka Tatal divonis 8 tahun penjara karena saat kejadian tahun 2016, dia masih di bawah umur.

Saka sendiri telah bebas.

Kasus ini kembali viral setelah difilmkan dengan judul Vina: Sebelum 7 Hari.

Film yang tayang pada 8 Mei 2024 ini mendapat respon netizen Indonesia dengan mendesak agar 3 pelaku lainnya segera ditangkap.

Karena kasus ini kembali viral, tim kuasa hukum delapan terpidana pun muncul ke publik untuk memberi pembelaan terhadap kliennya.

Tim kuasa hukum menilai banyak kejanggalan terutama tuntutan terhadap terdakwa dengan fakta dalam persidangan.

Dalam konferensi pers yang digelar di sebuah kantor advokat di Jalan Raya Kalitanjung, Kota Cirebon, pada Sabtu (18/5/2024), mereka pun mengungkapkan sejumlah fakta mencengangkan.

Delapan terpidana itu ditangani tiga kuasa hukum.

Pengacara Jogi Nainggolan memegang lima terdakwa masing-masing Eko Ramdani bin kosim, Hadi Saputra Kasanah, Jaya bin Sabdul, Eka Sandy bin Muran dan Supriyanto bin Sutadi.

Pengacara Titin menjadi kuasa hukum terdakwa dari Saka Tatal dan Sudirman.

Kemudian, terdakwa Rivaldy Aditiya Wardhana bin Asep Kusnadi alias Ucil menunjuk Wiwit Widianingsih dan Shindy sebagai kuasa hukumnya.

Ketiga kuasa hukum tersebut mengawal para tersangka sejak bulan Januari 2017 hingga selesai persidangan.

"Ini para terdakwa yang selama ini berada di dalam sel bukan pelaku pembunuhan," ujar Titin di depan para awak media, Sabtu (18/5/2024).

Ia mengungkapkan, rasa kecewa terhadap vonis seumur hidup yang diberikan, mengingat fakta persidangan menunjukkan hal yang berbeda.

“Saya ingat betul beberapa saya sampaikan itu, saya ingat betul ketika vonis seumur hidup disampaikan, saya kecewa karena faktanya dalam tuntutan korban meninggal karena tusukan di dada dan perut."

"Tetapi, hasil visum atau autopsi tidak ada luka akibat tusukan benda tajam, itu fakta pertama,” ucapnya.

Titin juga menjelaskan, bahwa pakaian yang dikenakan korban, yang diperlihatkan di persidangan, dalam kondisi utuh.

"Semua kuasa hukum terdakwa melihatnya. Jadi kami semua melihat baju yang diperlihatkan di persidangan dan saat dilakukan autopsi baju itu kan dikubur dan diangkat kembali secara utuh, tidak ada bekas bolongan atau tusukan samurai yang disebut dalam tuntutan pendek dan samurai panjang."

"Itu baju atas nama Eki, karena tuntutan yang disabet pakai samurai itu Eki," jelas dia.

Menurut Titin, perbedaan antara tuntutan dan hasil visum sangat mencolok.

"Sekali kami sampaikan, kami berbicara fakta persidangan, kalau rekayasa saya tidak tahu, karena saat BAP tidak didampingi oleh kami, kita berbicara fakta persidangan. Sangat tidak sesuai antara antara tuntutan dengan fakta visum dan forensik," katanya.

Lebih lanjut, Titin menyoroti bahwa kematian korban digambarkan sama, yaitu karena benturan di belakang kepala tanpa adanya sabetan.

"Nah digambarkan kematiannya sama, karena benturan di belakang kepala tapi tidak ada sabetan."

"Sementara, kalau dari hasil pertama kali datang ditemukan sperma, cuma tidak juga dijelaskan sperma itu milik siapa, dokter juga tidak bisa menjelaskan itu," ujarnya.

Titin menambahkan, dalam persidangan juga tidak pernah dibahas soal pemerkosaan.

"Fakta lainnya, di dalam persidangan tidak pernah dibahas soal perkosaan," ucapnya.

Dengan banyaknya kejanggalan itu, konferensi pers para kuasa hukum tersangka ini menyoroti kejanggalan dalam proses hukum yang sedang berlangsung.

Dengan harapan ada peninjauan kembali terhadap kasus ini.

"Ya tentu, kami berharap ada penyelidikan ulang yang terhadap kasus ini, kasihan klien kami ini sebenarnya korban, karena tidak ada sangkut pautnya sama kasus Vina dan Eki."

Jogi Nainggolan menambahkan, kliennya mengalami kekerasan fisik selama proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

"Ya saya sampaikan ya, khususnya saya dari kuasa hukum 5 terdakwa yang hadir saat itu dalam persidangan."

"Di sini, demi Tuhan dan demi Allah, saya akan jelaskan apa adanya tidak dikurangi dan dilebihkan," ujar Jogi, mengawali keterangannya, Sabtu (18/5/2024).

Ia menjelaskan, penyampaian informasi ini bertujuan untuk mengeliminasi narasi yang berkembang di masyarakat serta pernyataan dari para pakar yang tidak mengetahui secara detail perjalanan kasus ini.

"Pertama, kami kuasa hukum dari delapan terdakwa kasus Vina, khususnya saya menerima kuasa 5 terdakwa yang notabenenya dari keluarga yang tidak mampu."

"Mereka adalah pekerja bangunan, yang mana tersangka-tersangka ini sudah dilimpahkan ke Polda Jabar," ucapnya.

Ia juga menegaskan, bahwa kliennya menerima tekanan fisik saat BAP di Polres Cirebon Kota.

"Justru saat BAP lah, klien kami mendapatkan tekanan atau perlakuan fisik seperti foto-foto yang tersebar di media sosial sekaligus ini," jelas dia.

Saat kekerasan fisik ini dialami kliennya, kata Jogi, tidak didampingi oleh pengacara.

"Keterangan yang disampaikan mereka di BAP di Polres Cirebon Kota itu penuh tekanan, karena saat itu tidak didampingi lawyer dan saat itu para terdakwa ini mendapatkan perlakuan fisik seperti foto-foto yang tersebar di media sosial," katanya.(tribunnews)

 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved