Ini Makna Tiga Hewan Kurban dalam Ritual Rambu Langi di Sangalla Tana Toraja

Upacara rambu langi’ di Tongkonan Bone, Sangalla, menghadirkan tiga hewan kurban dengan makna simbolik. Pong Barumbun menjelaskan filosofi tallu...

|
Tribun Toraja/Anastasya Saidong Ridwan
RITUAL - Tiga hewan yang digunakan dalam ritual adat yakni ayam, Babi, dan Kerbau, terlihat semua hewan sudah berada di depan halaman Tongkonan Bone, Lembang Rante La’bi Kambisa, Kecamatan Sangalla, Tana Toraja, pada Kamis (20/11/2025). Tiga jenis hewan kurban digunakan dalam prosesi tallu rarana (tiga jenis darah), masing-masing memiliki arti simbolik. 

TRIBUNTORAJA.COM, MAKALE – Upacara pidana adat rambu langi’ kembali digelar di Tongkonan Bone, Lembang Rante La’bi Kambisa, Kecamatan Sangalla, Tana Toraja, pada Kamis (20/11/2025).

Prosesi adat yang dijalankan untuk memulihkan pelanggaran sakral ini menghadirkan tallu rarana, tiga hewan kurban yang masing-masing menyimpan simbol dan pesan moral bagi pelaku pelanggaran maupun komunitas adat.

Ketua Lembaga Adat Sanggalla, Pong Barumbun, menegaskan bahwa pemilihan hewan kurban dalam ritual ini tidak dilakukan secara acak.

 

 

Setiap hewan mengandung filosofi yang menjadi landasan pemulihan keseimbangan adat.

Hewan pertama adalah ayam jago manuk sella mabusa babana, ayam berkaki putih, bertelinga putih, dan dibiarkan dengan ekor utuh.

Menurut Pong Barumbun, ayam tersebut melambangkan niat yang tulus serta hati yang bersih.

 

Baca juga: TAST Klarifikasi Soal Sanksi Adat Terhadap Pandji: Belum Ada Keputusan Resmi

 

“Orang yang melakukan tallu rarana harus kembali pada kesucian niat,” ujarnya. Ayam ini menjadi tanda bahwa pemulihan harus dimulai dari kejernihan hati.

Hewan kedua yaitu babi belang (Bai Ballang Todi’), yang disebut melambangkan harkat, martabat, dan kehormatan keluarga.

Babi ini dipersembahkan sebagai pengingat bahwa pelanggaran adat memiliki dampak luas, menyentuh martabat keluarga besar dan komunitas tongkonan.

 

Baca juga: Rusak Batu Sakral, Warga Sangalla Toraja Dijatuhi Sanksi Adat: Kurban Ayam, Babi dan Kerbau

 

“Martabat itu lebih tinggi dari apa pun. Itu yang mau ditegakkan kembali,” jelas Pong Barumbun.

Jenis hewan ketiga menjadi inti prosesi: anak kerbau dengan delapan pusaran rambut (Tedong Karua Palisunna), kerbau yang dianggap paling sempurna dan biasanya hanya digunakan pada upacara besar seperti perau’ atau peresmian tongkonan berkasta tinggi.

Dalam rambu langi’, kerbau ini menjadi lambang kesempurnaan silsilah serta tatanan adat yang harus dikembalikan ke jalur yang benar.

 

Baca juga: Bupati Toraja Utara Minta Kasus Pandji Tak Dibesar-besarkan

 

“Kalau silsilah di atas sudah baik, maka yang di bawahnya pasti ikut benar,” kata Pong Barumbun.

Ia menegaskan bahwa kerbau bukanlah objek sembahan, melainkan persembahan bagi Sang Pencipta, sementara doa-doa tetap disampaikan secara Kristen.

Penyembelihan dilakukan menggunakan doke (tombak) yang ujungnya ditutup buang pinang berwarna hijau kekuningan, simbol kesucian dan kehati-hatian dalam menjalankan hukum adat.

 

Baca juga: Anggota DPR RI Ajak Pandji Pragiwaksono Bertemu Tokoh Adat Toraja Bahas Video Kontroversialnya

 

Dalam pantauan Tribun Toraja, Pong Barumbun berjalan menuju kerbau, menerima doke dari seorang pemuda, memegang sebagian tali hewan kurban, lalu berbicara melalui mikrofon kepada masyarakat.

Ia mengingatkan bahwa pelanggaran adat selalu memiliki konsekuensi.

“Tidak akan terjadi sesuatu kalau tidak ada sebabnya. Karena itu kita tidak bisa hanya menyalahkan pelakunya seorang diri,” ucapnya.

 

Baca juga: Gematur Minta DPRD Toraja Utara Fasilitasi Pertemuan Komika Pandji dengan Tokoh Adat

 

Setelah itu, ia menyerukan doa, “Eeeee Puang eee, Puang eee, Puang eee…,” sebagai pujian kepada Tuhan dalam bahasa Toraja, memohon pemulihan adat berjalan dengan baik.

Ritual rambu langi’ digelar sebagai konsekuensi adat terhadap seorang warga berinisial TS, yang dinyatakan melanggar aturan adat setelah merusak pohon cendana dan batu sakral Tongkonan Bone.

Kedua simbol warisan leluhur tersebut memiliki nilai kesakralan tinggi bagi masyarakat Toraja sehingga pemulihannya harus dilakukan melalui prosesi adat.

(*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved