Perubahan Iklim

Imbas Perubahan Iklim, Stok Pangan Terancam Menipis

Perubahan iklim akan menimbulkan krisis air karena kekeringan, yang mana merupakan akibat dari suhu yang semakin tinggi.

Editor: Muh. Irham
ist
Ilustrasi dampak perubahan iklim secara nyata 

TRIBUNTORAJA.COM - Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkap Indonesia akan semakin sulit mengimpor beras imbas perubahan iklim.

Hal itu dikarenakan kekeringan yang melanda sejumlah negara karena bumi sedang berada pada fase terpanasnya akibat dari perubahan iklim.

Perubahan iklim akan menimbulkan krisis air karena kekeringan, yang mana merupakan akibat dari suhu yang semakin tinggi.

"Tahun 2023 merupakan tahun penuh rekor temperatur. Juli 2023 Sardinia di Italia suhunya mencapai 48 derajat celcius saat winter. Rhodes Yunani 49 derajat celcius. Maroko lebih dari 47 derajat," kata Dwikorita di acara Dialog Nasional Antisipasi Dampak Perubahan Iklim untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045, dikutip pada Selasa (22/8).

Ia mengatakan, tidak pandang bulu negara maju atau negara berkembang, baik Amerika California, Amerika Latin, nasibnya sama saja.

"Enggak peduli teknologinya maju maupun yang tertinggal. Jadi perubahan iklim memberikan tekanan tambahan krisis air terjadi," ujar Rita.

Dwikorita kemudian mengatakan bahwa krisis air berkaitan dengan kerentanan ketahanan pangan. Diprediksi pada sekitar tahun 2050 sudah terjadi peningkatan kerentanan pada stok pangan dunia. Rita berujar, hal itu melanda hampir semua negara, termasuk Indonesia.

Mengutip data Food and Agriculture Organization (FAO), Dwikorita mengatakan, lebih dari 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen stok pangan dunia, diprediksi menjadi yang paling rentan terhadap perubahan iklim.

"Jadi dampak perubahan iklim selain kenaikan permukaan air laut, lahan yang semakin sempit, pangan pun semakin berkurang. Kita mau impor beras dari mana? Semuanya lebih parah dari Indonesia," ujarnya.

Situasi di Tanah Air, kata dia, Indonesia saat memasuki sekitar tahun 2000, memiliki suhu yang semakin panas. "Terlihat kecenderungan kenaikan suhu yang seragam dengan tingkat kenaikan yang bervariasi," kata Dwikorita.

Ia menyebut tren suhu rata-rata tahunan 1951-2021 terdapat tren peningkatan temperatur yang seragam, dengan laju yang bervariasi di wilayah berbeda. Laju peningkatan terbesar ada di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera bagian selatan, dan area Jakarta sekitarnya. Beberapa area mengalami peningkatan hingga 0,15 derajat per 10 tahun.

"Proyeksi kenaikan suhu di seluruh pulau-pulau besar seperti Papua, Jawa, Kalimantan, kalau kita business as usual, targetnya 2060 diprediksi kenaikan suhu di akhir abad 21 dibandingkan sebelum masa revolusi industri. Saat ini sudah naik 1,2 kejadiannya ekstrem semakin ekstrem," kata dia.

Menurut Dwikorita apabila tidak ada mitigasi, kenaikannya bisa mencapai 3,5 derajat celcius.

"Berarti berapa kali lipat dari sekarang, kondisi ekstrem mungkin sudah menjadi kenormalan baru," ujar Dwikorita.

Pengetatan ekspor juga sudah dilakukan beberapa Negara imbas bencana el nino atau pemanasan suhu yang ekstrem. Salah satu yang melakukan adalan India yang mendorong melalui kebijakan Perdana Menteri Modi Narendra untuk memperketat pasar pangan dengan menaik bea ekspor bawang bombay jadi 40 persen, berlaku mulai 19 Agustus hingga 31 Desember 2023.

Mengutip dari Reuters, kenaikan tarif bea ekspor diberlakukan otoritas India setelah para petani bawang bombay India dihadapkan oleh ancaman bencana el nino atau fenomena pemanasan permukaan laut di atas rata-rata.

Fenomena ini terjadi akibat adanya angin laut yang terus bertiup ke arah barat di sepanjang ekuator. Sayangnya pergerakan angin mendorong air berjalan ke wilayah Timur hingga menciptakan suhu permukaan laut yang lebih panas dari biasanya, di Asia suhu meningkat sekitar 0,2 derajat celcius dari tahun lalu.

Termasuk India turut mengalami musim panas yang lebih panjang dari tahun sebelumnya. Ancaman ini yang membuat harga bombay di negara Bollywood itu mengalami lonjakan tajam.

Dalam sebulan terakhir harga bawang bombai naik lebih dari 20 persen hingga harganya tembus menjadi 2.400 rupee atau sekitar 28,87 dolar AS per 100 kg.

“Imbas el nino, India dilanda penurunan curah hujan terendah sejak tahun 1901, kekeringan yang parah lantas merusak hasil panen tanaman,” jelas eksportir bawang yang berbasis di Mumbai.

"Sementara bawang yang dipanen selama bulan-bulan musim panas membusuk dengan cepat, dan pasokan baru tertunda. Situasi ini mendorong pemerintah mengambil tindakan pencegahan," tambah eksportir lainnya,

Tak hanya bawang, awal bulan kemarin PM Modi juga memberlakukan larangan ekspor beras jenis non basmati ke pasar dunia. Langkah ini diambil guna mengamankan pasokan beras dalam negeri lantaran belakangan ini sentra-sentra produksi beras seperti Punjab dan Haryana mengalami gagal produksi akibat gelombang panas mencapai 46 derajat celcius.

Selain memicu kenaikan harga pangan dan lonjakan inflasi tahunan India hingga naik tajam ke level tertinggi dalam 15 bulan terakhir yaitu 7,44 persen di bulan Juli. Bencana el nino yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama maka kemungkinan besar akan mendorong sejumlah negara Asia dan Afrika mengalami krisis pangan. Mengingat India sendiri menjadi pemasok biji – bijian dan beras terbesar di Asia, dalam setahun terakhir India sanggup menyumbang ekspor 21,5 juta ton beras per tahun.

Terpisah, Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyebut, perubahan iklim diperkirakan akan menyebabkan kerugian ekonomi senilai Rp544 triliun.

"Diperkirakan dalam kurun 2020-2024, perubahan iklim itu akan menyebabkan kerugian ekonomi. Potensi kerugian ekonomi senilai Rp544 triliun. Karena itu diperlukan sebuah intervensi kebijakan," katanya.

Ia mengatakan, potensi kerugian ini akan berasal dari penggenangan pesisir, kelangkaan air, dan kecelakaan kapal.

"Penurunan produkitivas beras, peningkatan kasus penyakit sensitif, dan lain sebagainya," ujar mantan Ketua Umum PPP itu.

Dalam kesempatan sama, Suharso juga menjabarkan sejumlah data mengenai perubahan iklim di dunia, yang mana semakin hari semakin mengarah pada meningkatnya suhu rata-rata bumi.

"Berdasarkan laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), suhu rata-rata di muka bumi ini terus meningkat. Suku permukaan global ini sudah mencapai di atas 1,09 derajat celcius. Kenaikan dibandingkan periode 1850 ke 1900," katanya.

Ia mengatakan, angka ini diprediksi akan terus meningkat karena produksi dari gas rumah kaca ke atmosfer itu berlanjut tak henti. "Pada tanggal 16 Agustus 2023, tercatat konsentrasi karbondiokisda global di atmosfer mencapai 419,55 PPM atau naik 6,3 persen dari tahun 2011," ujar Suharso.

"Ini disertai dengan kenaikan muka air laut yang sudah mencapai tiga kali lipat dibanding 1900-1971. Akibat mencairnya lapisan es di kutub," sambungnya,

Jika ini terus dibiarkan, kata Suharso, kondisi bumi akan semakin memburuk, di mana dapat berujung pada seluruh sistem kehidupan akan terganggu. Ketersediaan sumber daya air akan berkurang, potensi kekeringan akan naik, dan dalam situasi seperti itu, ia mengatakan wabah penyakit dan bencana alam mudah untuk hadir.

"Diperkirakan lebih dari 100 juta penduduk dunia akan miskin. Ada 4,8 hingga 5,7 miliar penduduk akan mengalami kekurangan air pada tahun 2050," ujar Suharso.(*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved