Opini

Menelusuri Jejak Pelaut Makassar: Siapa Sebenarnya Penemu Benua Australia?

Pelaut Makassar diyakini telah berlayar ke Australia jauh sebelum James Cook. Melalui riset lintas negara, Saparuddin Santa menelusuri kembali...

|
Editor: Donny Yosua
Campbell Macknight via London Natural History Museum
PELAUT MAKASSAR - Lukisan yang menggambarkan nelayan dari Makassar saat berada di dekat benua Australia oleh L. Breton di tahun 1839. 

 

Baca juga: Keterwakilan Perempuan di DPRD Tana Toraja Terendah di Sulsel, Baru 6,67 Persen

 

Dialog Tanpa Kolonialisme

Kisah pelaut Makassar dan masyarakat Aborigin adalah contoh langka dari dialog lintas bangsa tanpa penaklukan. Tidak ada senjata atau penjajahan, hanya pertukaran barang, bahasa, dan rasa ingin tahu. Di lukisan batu Arnhem Land masih tergambar perahu Makassar. Dalam bahasa lokal, kata balanda (orang kulit putih) berasal dari istilah Makassar untuk Belanda — bukti bahwa bahasa bisa menempuh pelayaran yang lebih jauh daripada kapal.

Laut Arafuru, bagi saya, bukan batas melainkan jembatan. Identitas maritim orang Makassar terbentuk bukan karena daratan yang ditinggali, tetapi karena perjalanan yang ditempuh.

 

Baca juga: Opini: Ketahanan Pangan 

 

Menghidupkan Semangat Kemanusiaan Bersama

Melalui riset ini, saya ingin membangkitkan kembali semangat para pelaut Makassar: semangat menjelajah, bertukar, dan memahami. Gagasan Shared Humanity — kemanusiaan bersama — menjadi fondasi utama.

Hubungan antarbangsa, menurut saya, seharusnya tidak hanya didasarkan pada diplomasi atau ekonomi, tetapi pada penghormatan dan pengakuan terhadap sejarah bersama.

Dari gagasan ini lahirlah inisiatif pendirian Makassar–Arnhem Land Fellowship and Foundation, sebuah platform riset dan pertukaran budaya jangka panjang antara Indonesia dan Australia. Program ini diharapkan menjadi ruang bagi peneliti muda, seniman, dan komunitas lokal untuk melanjutkan dialog kemanusiaan lintas samudra yang telah dimulai berabad-abad lalu oleh para pelaut Makassar.

Sejarah bukan hanya catatan masa lalu, melainkan cermin masa depan — tentang bagaimana kita memilih memaknai perjumpaan yang pernah terjadi.
Dan di Laut Arafuru, tempat Makassar dan Marege’ pernah saling memandang, kita belajar bahwa batas sejati hanyalah garis di peta, bukan di hati manusia.

(*)

 

Oleh: 
Saparuddin Santa
Peneliti dan Penulis Independen dari Makassar, Indonesia

Direktur Eksekutif Visi Indonesia Consulting, Saparuddin Santa,
Direktur Eksekutif Visi Indonesia Consulting, Saparuddin Santa, (dok pribadi)

Tulisan ini merupakan bagian dari riset sejarah dan kemanusiaan berjudul:
“Encouraging Shared Humanity: Tracing the Makassar–Aboriginal Connection through Storytelling, Cultural Memory, and Economic Futures.”

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved