Opini
Menelusuri Jejak Pelaut Makassar: Siapa Sebenarnya Penemu Benua Australia?
Pelaut Makassar diyakini telah berlayar ke Australia jauh sebelum James Cook. Melalui riset lintas negara, Saparuddin Santa menelusuri kembali...
“Ketika matahari sedang terbit dari Timur, kami Pelaut Makassar sedang mengayuh Perahu kami, melintasi Laut Timur dan Laut Arafuru menuju Daratan Australia; kamilah yang menemukanmu.”
— Tradisi Lisan Pelaut Makassar, Sulawesi Selatan
TRIBUNTORAJA.COM — Saya tumbuh dengan kisah-kisah yang tidak tercantum dalam buku sejarah resmi. Orang tua di Makassar bercerita tentang pelaut tangguh yang menembus cakrawala, mengarungi samudra menuju tanah yang mereka sebut Marege’ — wilayah yang kini dikenal sebagai pesisir utara Australia. Cerita itu diwariskan turun-temurun bukan sekadar legenda, melainkan memori kolektif tentang jati diri dan kebanggaan sebagai bangsa pelaut.
Namun, ketika saya menelusuri literatur sejarah Australia, saya menemukan kesunyian yang mencolok. Sebagian besar sejarawan memulai kisah mereka dari perspektif Eropa — arsip VOC, peta kolonial, dan jurnal Inggris. Seolah sejarah baru dimulai ketika orang Eropa menuliskannya. Padahal jauh sebelum James Cook mendarat di pantai timur Australia pada 1770, pelaut-pelaut Makassar telah lebih dulu berlayar ke utara benua itu untuk mencari teripang, bahkan hidup berdampingan dengan masyarakat Aborigin di Arnhem Land dan Pulau Kimberley. Mereka menjalin persahabatan, berdagang, bahkan menikah dengan penduduk setempat, meninggalkan keturunan yang masih ada hingga hari ini.
Baca juga: Toraja Masero Development Goals - Batch I: Membangun Kesadaran Kolektif Melalui Praktik Inisiatif
Menggali Kembali Sejarah yang Terlupakan
Peneliti asal Inggris, Mike Dash, dalam Dreamtime Voyagers, mencatat bahwa para pelaut Makassar telah menjadi bagian dari jaringan maritim global sejak abad ke-16. Ia menulis, pada 1650-an, Kerajaan Gowa adalah kekuatan maritim terkuat di Nusantara dengan jalur pelayaran yang mencapai Semenanjung Malaya hingga Tiongkok. Artinya, jauh sebelum kolonialisme menancapkan kekuasaan, Makassar telah membangun hubungan ekonomi dan kultural lintas samudra, termasuk dengan Australia utara.
Fakta ini menegaskan bahwa hubungan Indonesia–Australia bukanlah warisan kolonial, melainkan hasil pertukaran kemanusiaan yang setara. Riset yang saya jalankan berupaya menghidupkan kembali kisah pertemuan itu — di ruang antara memori rakyat dan arsip kolonial yang bisu.
Baca juga: Jejak Pelaut Makassar di Australia Utara: Menyusuri Kembali Sejarah yang Terlupakan
Dari Arsip ke Etnografi: Membaca Ulang Sejarah
Tujuan penelitian ini bukan sekadar mencari siapa yang pertama tiba di Australia, melainkan mengembalikan dimensi kemanusiaan dari perjumpaan dua bangsa di tepi Laut Arafuru. Saya memadukan cerita lisan, catatan VOC, serta pendekatan etnografi kreatif. Lagu-lagu pelaut, simbol dalam bahasa Yolngu yang menyebut “Makassan”, hingga jejak artefak perdagangan teripang, saya anggap sebagai teks sejarah yang hidup.
Setiap memori masyarakat adalah arsip moral; setiap pertemuan antarmanusia adalah catatan sejarah yang sah.
Penelitian ini dijalankan penulis atas bimbingan kolaborasi antara akademisi Indonesia dan Australia — termasuk Ishaq Rahman, Ph.D (Candidate) dan Dr. Sudirman Nasir dari Universitas Hasanuddin, serta Professor Hans Pols dari University of Sydney dan Professor Emeritus Stephen Hill dari University of Wollongong. Professor Hill memperkenalkan gagasan Stand in Humanity, bahwa hubungan antarbangsa seharusnya berpijak pada kemanusiaan bersama, bukan semata kepentingan geopolitik.
Baca juga: Keterwakilan Perempuan di DPRD Tana Toraja Terendah di Sulsel, Baru 6,67 Persen
Dialog Tanpa Kolonialisme
Kisah pelaut Makassar dan masyarakat Aborigin adalah contoh langka dari dialog lintas bangsa tanpa penaklukan. Tidak ada senjata atau penjajahan, hanya pertukaran barang, bahasa, dan rasa ingin tahu. Di lukisan batu Arnhem Land masih tergambar perahu Makassar. Dalam bahasa lokal, kata balanda (orang kulit putih) berasal dari istilah Makassar untuk Belanda — bukti bahwa bahasa bisa menempuh pelayaran yang lebih jauh daripada kapal.
Laut Arafuru, bagi saya, bukan batas melainkan jembatan. Identitas maritim orang Makassar terbentuk bukan karena daratan yang ditinggali, tetapi karena perjalanan yang ditempuh.
Baca juga: Opini: Ketahanan Pangan
Menghidupkan Semangat Kemanusiaan Bersama
Melalui riset ini, saya ingin membangkitkan kembali semangat para pelaut Makassar: semangat menjelajah, bertukar, dan memahami. Gagasan Shared Humanity — kemanusiaan bersama — menjadi fondasi utama.
Hubungan antarbangsa, menurut saya, seharusnya tidak hanya didasarkan pada diplomasi atau ekonomi, tetapi pada penghormatan dan pengakuan terhadap sejarah bersama.
Dari gagasan ini lahirlah inisiatif pendirian Makassar–Arnhem Land Fellowship and Foundation, sebuah platform riset dan pertukaran budaya jangka panjang antara Indonesia dan Australia. Program ini diharapkan menjadi ruang bagi peneliti muda, seniman, dan komunitas lokal untuk melanjutkan dialog kemanusiaan lintas samudra yang telah dimulai berabad-abad lalu oleh para pelaut Makassar.
Sejarah bukan hanya catatan masa lalu, melainkan cermin masa depan — tentang bagaimana kita memilih memaknai perjumpaan yang pernah terjadi.
Dan di Laut Arafuru, tempat Makassar dan Marege’ pernah saling memandang, kita belajar bahwa batas sejati hanyalah garis di peta, bukan di hati manusia.
(*)
Oleh:
Saparuddin Santa
Peneliti dan Penulis Independen dari Makassar, Indonesia
Tulisan ini merupakan bagian dari riset sejarah dan kemanusiaan berjudul:
“Encouraging Shared Humanity: Tracing the Makassar–Aboriginal Connection through Storytelling, Cultural Memory, and Economic Futures.”
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/toraja/foto/bank/originals/nelayan-makassar-di-benua-australia-11112025.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.