Bukan Pahlawan Nasional, Ini Gelar yang Dinilai Adil untuk Soeharto 

Zaki menilai, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sebaiknya tidak dilakukan tergesa-gesa.

Editor: Imam Wahyudi
Wikimedia Commons
PAHLAWAN NASIONAL - Presiden RI ke-2, Soeharto. Terkini, Soeharto kembali diusulkan menjadi Pahlawan Nasional. 

TRIBUNTORAJA.COM - Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak, menilai Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto lebih pantas dikenang sebagai Pahlawan Kemerdekaan dibandingkan diberi gelar Pahlawan Nasional.

Menurutnya, kontribusi Soeharto di masa perjuangan kemerdekaan, terutama dalam konteks militer, memang besar dan bersejarah.

Namun, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh yang juga memimpin rezim Orde Baru itu dikhawatirkan menimbulkan kontroversi moral dan politik di tengah masyarakat.

“Pak Harto banyak jasanya dalam perang kemerdekaan. Salah satu yang fenomenal adalah perannya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta,” ujar Zaki saat dihubungi, Jumat (7/11/2025).

Ia menegaskan, Soeharto termasuk salah satu inisiator utama serangan tersebut yang berhasil menunjukkan eksistensi TNI di mata dunia dan mengembalikan semangat perjuangan kemerdekaan.

“Gelar Pahlawan Kemerdekaan saya kira lebih objektif dan dapat diterima banyak elemen bangsa,” kata Zaki.

Zaki menilai, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sebaiknya tidak dilakukan tergesa-gesa.

Menurutnya, gelar tersebut memiliki dimensi moral dan simbolik yang harus dijaga karena mencerminkan martabat bangsa.

“Pahlawan Nasional itu bukan sekadar penghargaan politik. Ia mencerminkan dignity bangsa dan standar moral publik. Jadi tidak bisa diberikan dengan pertimbangan kompromi politik,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dapat memicu perpecahan di masyarakat, terutama di kalangan aktivis dan akademisi yang masih mengingat berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa pemerintahannya.

“Menimbang adanya penolakan luas dari masyarakat sipil, pemerintah sebaiknya lebih bijaksana. Tunda dulu pemberian gelar tersebut agar tidak menimbulkan perdebatan yang kontraproduktif,” ujar Zaki.

Sebelumnya, rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menuai polemik. 

Sebagian kalangan menilai langkah itu akan mengaburkan semangat reformasi, sementara pihak lain menilai jasa Soeharto bagi pembangunan ekonomi dan stabilitas politik layak dihargai.

Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, bahkan mengusulkan agar seluruh mantan presiden Indonesia mendapat gelar Pahlawan Nasional.

“Bila perlu semua tokoh bangsa yang pernah menjabat presiden dipertimbangkan untuk diberikan gelar Pahlawan Nasional,” kata Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (6/11/2025).

Ia juga menyebut Presiden ke-3 BJ Habibie dan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai sosok yang layak mendapat penghargaan serupa.

“Pak Gus Dur dan Pak Habibie juga banyak jasanya untuk negeri ini. Semua punya kontribusi besar,” ujarnya.

Peran Historis

Soeharto dikenal sebagai tokoh militer yang aktif sejak masa revolusi kemerdekaan. 

Perannya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta sering disebut sebagai momentum penting dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia di mata dunia.

Namun, di sisi lain, masa kepemimpinannya selama 32 tahun juga diwarnai catatan pelanggaran HAM, pembatasan kebebasan pers, dan praktik korupsi yang hingga kini masih menjadi perdebatan.

Bagi Zaki Mubarak, di tengah dua wajah sejarah tersebut, gelar Pahlawan Kemerdekaan menjadi pilihan yang lebih adil karena mengakui jasa perjuangannya tanpa mengabaikan sisi gelap kekuasaannya.

“Dengan cara itu, kita tetap menghormati peran historis Soeharto tanpa menghapus pelajaran penting dari sejarah politik Indonesia,” pungkasnya.

Sumber: https://www.kompas.com/tren/read/2025/11/08/113000965/bukan-pahlawan-nasional-soeharto-dinilai-lebih-tepat-dikenang-sebagai?source=headline.

 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved