Polemik DPR RI vs Koalisi Sipil soal Pasal Pemblokiran di UU KUHAP Baru

DPR dan Koalisi Masyarakat Sipil berbeda pandangan mengenai Pasal 140 KUHAP baru yang mengatur pemblokiran rekening hingga akun media sosial.

Penulis: Redaksi | Editor: Donny Yosua
Tribunnews
POLEMIK UU KUHAP - Gedung DPR RI. DPR dan Koalisi Masyarakat Sipil berbeda pandangan mengenai Pasal 140 KUHAP baru yang mengatur pemblokiran rekening hingga akun media sosial. DPR menyebut aturannya ketat, sementara koalisi menilai ada celah penyalahgunaan. 

TRIBUNTORAJA.COM, JAKARTA – Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) versi terbaru oleh rapat paripurna DPR pada Selasa (18/11/2025) memunculkan polemik terkait ketentuan pemblokiran berbagai jenis aset dan akses digital.

Perbedaan pandangan mencuat antara DPR dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP.

KUHAP hasil pembaruan tersebut disusun setelah melalui pembahasan di Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP Komisi III DPR yang dipimpin Ketua Komisi III DPR Habiburokhman.

Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 140 yang khusus mengatur mekanisme pemblokiran.

Pada KUHAP lama (UU Nomor 8 Tahun 1981), tidak terdapat ketentuan mengenai pemblokiran.

Di KUHAP terbaru, pemblokiran didefinisikan sebagai tindakan mencegah sementara penggunaan berbagai jenis objek, mulai dari pemindahan harta, bukti kepemilikan, transaksi perbankan, akun media sosial, informasi elektronik, dokumen elektronik, hingga produk administratif.

 

 

Isi Pasal 140 KUHAP Baru

Bagian kesembilan KUHAP baru merinci aturan pemblokiran melalui Pasal 140, mulai dari kewenangan penyidik, penuntut umum, hingga hakim.

Aturan tersebut juga menegaskan perlunya izin ketua pengadilan negeri, batas waktu pemblokiran, hingga pengecualian dalam keadaan mendesak.

Pasal tersebut memuat ketentuan sebagai berikut:

  • Pemblokiran dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim.
  • Harus ada izin ketua pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan mendesak.
  • Permohonan izin wajib memuat uraian tindak pidana, dasar relevansi objek yang diblokir, serta tujuan pemblokiran.
  • Ketua pengadilan wajib meneliti permohonan dalam waktu dua hari.
  • Pemblokiran berlaku satu tahun dan dapat diperpanjang dua kali.
  • Dalam keadaan mendesak, pemblokiran dapat dilakukan terlebih dahulu dengan alasan seperti potensi pengalihan harta, tindak pidana elektronik, permufakatan dalam kejahatan terorganisasi, atau “situasi berdasarkan penilaian Penyidik”.

 

Baca juga: DPR RI Resmi Sahkan RUU KUHAP Menjadi Undang-Undang Baru

 

DPR Yakinkan Aturan Lebih Ketat

Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menegaskan bahwa mekanisme pemblokiran dalam KUHAP terbaru diatur jauh lebih ketat dibandingkan aturan sebelumnya.

“Pemblokiran, Pasal 140, dilakukan harus dengan izin ketua pengadilan. Jadi enggak benar ya apa namanya kalau tanpa izin ya,” kata Habiburokhman dalam jumpa pers di Gedung DPR, Rabu (19/11/2025).

Ia menyebut aturan baru tersebut memastikan pemblokiran atau bentuk upaya paksa lainnya tidak dilakukan berdasarkan subjektivitas aparat.

“Jadi pengaturan soal penggeledahan, penyitaan, penyadapan, dan pemblokiran ini jauh lebih baik di KUHAP baru daripada di KUHAP Lama,” ujarnya.

 

Baca juga: Hakim Tolak Praperadilan, Nadiem Makarim Resmi Jadi Tersangka Kasus Korupsi Chromebook

 

Koalisi Sipil Nilai Ada Celah Penyalahgunaan

Berbeda dengan DPR, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai Pasal 140 justru membuka ruang penyalahgunaan, terutama pada ketentuan pemblokiran dalam keadaan mendesak.

“Perlu ditegaskan bahwa izin hakim tersebut dapat dikecualikan dan pengecualian tersebut bersifat sangat rentan untuk disalahgunakan secara subjektif,” kata Koalisi melalui siaran pers, Rabu (19/11/2025).

Koalisi menyoroti ayat (7) dan (8) yang memungkinkan pemblokiran tanpa izin ketua pengadilan.

“Yang paling rentan disalahgunakan adalah alasan pemblokiran tanpa izin pengadilan berdasarkan ‘situasi berdasarkan penilaian Penyidik’,” ujar Koalisi.

Menurut Koalisi, syarat keadaan mendesak yang tercantum dalam pasal tersebut bersifat alternatif sehingga dapat dipenuhi hanya dengan satu alasan.

“Syarat tersebut juga alternatif, yang artinya sesederhana bahwa tanpa perlu melihat alasan-alasan yang lain, cukup dengan alasan adanya ‘penilaian penyidik’ maka sudah bisa menjadi dasar untuk pemblokiran tanpa izin pengadilan,” kata Koalisi.

(*)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved