Demokrasi yang Membusuk dan Penghianatan Kaum Intelektual?
Para pemilih pemula, yang kelak boleh jadi akan menjadi pemimpin 10 atau 20 tahun ke depan, sudah menikmati uang politik?
Saya tak melanjutkan pertanyaan saya saat itu. Saya tak ingin mengganggu pikiran mereka dengan kegembiraan yang mereka rayakan hari itu.
Sebab mereka menjawab dengan penuh percaya diri dan sambil tertawa, bahwa yang mereka pilih adalah "yang membagi uang".
Kepala saya dipenuhi pikiran “marah”.
Separah inikah negeriku? Sejumlah anak Indonesia, di sebuah kota yang berpredikat Kota Idaman, anak-anak masa depan, di pemilihan pertama mereka, yang kelak boleh jadi akan menjadi pemimpin 10 atau 20 tahun ke depan, sudah menikmati uang politik?
Dan dengan gembiranya "menerima kebenaran demokrasi" bahwa untuk menjadi seorang pemimpin kota, kita cukup mendata orang-orang yang bersedia datang ke TPS, dan menyediakan uang untuk para pemilih?
Siapa yang harus memikul tanggungjawab ini? Tanggungjawab masa depan politik generasi penerus kepemimpinan, para calonkah? Atau orangtua mereka?
Sadarkah para orang tua mereka bahwa saat mereka menerima uang dari salah satu calon, sesungguhnya “mereka sedang mengubur masa depan politik generasi muda dan impian anak-anak mereka untuk menjadi pemimpin”.
Bahwa anak-anak muda cerdas yang tertarik pada dunia politik dan ingin mengabdi di masa depan untuk kotanya, tidak perlu lagi sekolah tinggi dan belajar ilmu kepemimpinan, cukup mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, dan maju sebagai calon jika sudah punya uang bermilyar-milyar.
Sebab hanya dengan uang bermiliar-miliar, mereka bisa terpilih.
Lalu, bagaimana dengan tokoh-tokoh agama dan tokoh intelektual kota Palopo? Termasuk bagaimana tanggungjawab penyelenggara, dalam hal inianggota Komisi Pemilihan Umum (KPU)?
Apakah mereka hanya bersandar pada demokrasi prosedural, yaitu cukup dengan mengumumkan jadwal dan meminta melengkapi semua berkas administrasi para calon, lalu meminta para calon mengikuti seluruh tahapan dan kampanye, kemudian menghitung pasangan mana yang meraih suara terbanyak, lalu selanjutnya mengumumkannya secara terbuka bahwa inilah pemenang PSU Kota Palopo?
Pun halnya penyelenggara lainnya, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Apa yang mereka sesungguhnya awasi dari PSU ini?
Apakah semacam seremoni mencatat siapa yang paling berpotensi melakukan pelanggaran, mencatat dan mendokumentasikannya, kemudian mengeluarkan rekomendasi bahwa ini harus “diuji lagi” di KPU?
Hanya sebatas itukah kuasa dan keberanian Bawaslu? Ataukah, sesungguhnya (kalau mereka mau jujur) pun mereka tahu dan sadari secara kasat mata, betapa "busuknya" proses demokrasi yang secara massif menggunakan politik uang untuk meraih dukungan pemilih di kota Palopo.
Begitu juga dengan “titah” Gubernur Sulawesi Selatan, yang mengancam para calon saat Deklarasi Pilkada Damai yang dihadiri para calon pada tanggal 7 Mei 2025 di KPU Kota Palopo, bahwa “Siapapun yang berani melakukan politik uang, pasti akan didiskualifikasi”.
Pilwali Palopo Selesai, MK Tolak Gugatan RMB, Ome Imbau Pendukung Tak Konvoi |
![]() |
---|
Hasil PSU Pilkada Palopo Digugat, Giliran RMB Ajukan Gugatan ke MK |
![]() |
---|
Tim Naili-Ome Klaim Menang 50,63 Persen, Unggul Telak di 9 Kecamatan |
![]() |
---|
Quick Count SSI: Naili-Ome Sementara Unggul, Pendukung Joged-Joged |
![]() |
---|
PSU Palopo Berjalan Lancar dan Tertib |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.