Tribun UMKM

30 Tahun Menekuni Anyaman Rakki, Andarias Bertahan Hidup Sekaligus Menjaga Warisan Budaya Toraja

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TRIBUNTORAJA.COM – Di sudut sunyi Kampung Tombang, Lembang (Desa) Poton, Kecamatan Bonggakaradeng, Kabupaten Tana Toraja, Sulsel.

Andarias Baso (60), duduk bersila di teras rumah panggung.

Tangannya cekatan menganyam lidi dari daun ijuk muda.

Andarias satu dari sedikit pengrajin rakki yang masih bertahan di Toraja.

Rakki, dalam budaya Toraja, bukan sekadar kerajinan tangan.

Ia adalah warisan, jejak leluhur yang hidup dalam bentuk anyaman untuk tempat nasi, wadah kue, bakul, hingga alas gelas.

Dan bagi Andarias, rakki bukan hanya budaya yang diwariskan, tetapi juga jalan hidup.

“Saya belajar dari paman sejak masih muda. Di Toraja, rakki masih dibutuhkan dalam pesta-pesta adat, terutama pernikahan,” tutur Andarias saat ditemui Tribun Toraja di rumahnya, Minggu (3/8/2025).
 
Dibantu sang istri, Paresso (52), Andarias telah menekuni rakki sejak awal 1990-an. 

Dari tangan mereka yang terampil, kerajinan ini telah membesarkan enam anak dan dua cucunya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Di ruang tamu rumah mereka, tumpukan rakki tertata rapi.

Ada tempat kue berlapis kain merah, ada bakul sederhana, dan yang paling mencolok, deretan alas gelas mungil dengan motif rapat dan rapi.

Harga jual rakki buatan Andarias cukup terjangkau.

Rakki biasa dan alas gelas dijual Rp150 ribu per lusin.

Tempat kue tanpa kain merah juga Rp150 ribu per lusin.

Tempat kue berlapis kain merah dihargai Rp300 ribu per lusin.

Sedangkan bakul dijual Rp150 ribu per lusin.

Di balik harga itu, tentu ada proses yang panjang. 

Untuk membuat satu lusin alas gelas bisa memakan waktu hingga seminggu, tergantung bentuk dan tingkat kesulitan. 

Produk seperti alas gelas menjadi yang paling rumit karena membutuhkan ketelitian ekstra dalam setiap helai anyaman.

“Kalau anyaman kecil seperti alas gelas itu susah. Apalagi kalau motifnya rapat,” ujar Paresso, yang tugasnya memisahkan tulang daun ijuk agar siap dianyam oleh suaminya.
 
Berbeda dari pengrajin lain, Andarias tidak menggunakan lidi kelapa seperti lazimnya.

Ia lebih memilih lidi dari daun ijuk muda.

Alasannya, lidi dari daun ijuk muda lebih lentur dan mudah dibentuk.

Sayangnya, usaha ini tidak selalu berjalan lancar.

Pernah, pesanan besar yang mereka siapkan dengan susah payah batal diambil pembeli.

Namun, Andarias dan Paresso tak menyerah.

“Kalau ada pesanan, kami kerja. Kalau tidak, kami santai bersama cucu,” ucap Paresso sambil tersenyum, menatap dua cucunya yang tertawa sambil bermain di sisi rumah.
 
Di tengah arus digitalisasi yang perlahan menjangkau kampung mereka, Andarias justru menjadi pengingat bahwa modern bukan berarti melupakan.

Bahwa kearifan lokal bukan sekadar romantisme masa lalu, melainkan sumber penghidupan yang bermartabat.

Dari daun ijuk yang tampak remeh, dari lidi-lidi kecil yang dianyam sabar, Andarias membuktikan bahwa tradisi bisa bertahan asal ada yang bersedia menjaga.

Nah, bagi Tribuners yang ingin memesan kerajinan rakki, bisa langsung menghubungi Andarias Baso di Kampung Tombang, Lembang Poton.(*)