“Ia tak perlu membunuh putra saya. Ditembak? Begitu dekat dengan dadanya? Tidak, tidak,” ujar sang ibu sembari menangis.
Mounia mengungkapkan adanya motif rasialis dibalik penembakan tersebut.
“Petugas melihat wajab Arab, seorang anak kecil, dan ingin mengambil nyawanya,” tutur Mounia.
Baca juga: Batal Kudeta, Rusia Resmi Jalin Kontrak dengan Pasukan Wagner
“Berapa lama hal seperti ini akan terjadi? Berapa banyak anak-anak lain yang harus mengalami hal seperti ini? Berapa banyak ibu-ibu lain yang harus merasa seperti saya,” tambahnya.
Mounia sendiri memimpin unjuk rasa di Nanterre, tempatnya tinggal, dan berakhir dengan kerusuhan.
Kematian Nahel memang memicu unjuk rasa dan kerusuhan di Prancis.
Baca juga: Sepak Terjang Wagner Group, Paramiliter yang Memberontak di Rusia dan Awal Mula Pendiriannya
Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerard Darmain menegaskan lebih dari 100 orang sudah ditangkap atas unjuk rasa dan kerusuhan yang terjadi.
Sementara itu, polisi yang telah membunuh Nahel telah ditahan, dan meminta maaf kepada keluarga korbannya.
Baca juga: Rusia Tuduh Ukraina Siap Perdagangkan Organ Manusia Demi Bantuan Militer Barat
“Kata pertamanya adalah mengatakan meminta maaf, dan kata-kata terakhir adalah meminta maaf kepada keluarganya,” ujar pengacara sang polisi, Laurent-Franck Lienard.
“Ia merasa hancur. Ia tidak bangun pagi untuk membunuh orang. Ia tak ingin membunuhnya,” tambahnya.
(*)