Tambang Liar

Dampak Tambang Liar di Tana Toraja, Warga Setiap Hari Makan Debu, Polisi: Bukan Ranah Kami

Aktivitas pengerukan sungai dan gunung oleh pengusaha tambang di Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Sulsel), kian marak dan merusak lingkungan.

Penulis: Ricdwan Abbas | Editor: Muh. Irham
Istimewa
Gambar udara penampakang aktivitas tambang galian C di Lembang Rante Limbong, Kecamatan Kurra, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, diabadikan beberapa waktu lalu. 

TRIBUNTORAJA.COM - Aktivitas pengerukan sungai dan gunung oleh pengusaha tambang di Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Sulsel), kian marak dan merusak lingkungan.

Tambang tak berijin yang berhasil menyulap jalan negara tak ubahnya lintasan trail diantaranya tambang galian di Tapparan, Kelurahan Rantetayo, Kecamatan Rantetayo dan tambang batu gunung yang dikelola dua pengusaha besar di Limbong Sangpolo, Kecamatan Kurra, yakni PT Kurnia Jaya Karya (KJK) dan CV Pare Jaya Karya (PJK).

Pantauan Tribun Toraja, pihak terkait sebelumnya telah menghentikan aktivitas tambang liar di Tana Toraja buntut protes warga. Namun, belakangan kembali marak beroperasi. Ratusan truk lalu lalang masuk area tambang setiap hari memuat material berlebih hingga jalan semakin rusak.

Meski protes tak putus-putusnya kembali disampaikan masyarakat, keluhan tersebut tidak pernah sekalipun direspon pihak terkait dengan dalih asas manfaat.

Menanggapi hal itu, salah seorang warga Kurra, Ernawati mengatakan ratusan penambang tidak sebanding ratusan ribu warga terdampak tambang. Utamanya, yang bergantung pada hasil tani.

Keberadaan tambang kata dia, membuat tanaman di kebun tidak dapat tumbuh subur bahkan mengering lantaran tertutup debu akibat aktivitas dari penambangan liar yang mengeruk tanah negara di sekitar pemukiman.

Paling miris, warga yang tinggal di pinggir jalan poros Kurra - Rantetayo. Truk bermuatan pasir dan batu gunung lalu lalang setiap hari membuat debu di jalanan beterbangan menutupi tanaman bahkan masuk ke rumah-rumah warga.

"Iya pernah ditutup. Kalau tidak salah tiga hari, tapi tidak tau mi juga Pak kenapa dibuka lagi. Kita kasian ini kena debu terus karena terbang-terbang kalau ada mobil lewat atau ada angin kencang," kata Ernawati kepada Tribun Toraja, beberapa hari lalu.

Ibu empat anak itu mengatakan, kondisi demikian mengganggu kesehatan masyarakat setempat. Utamanya anak sekolah yang berjalan kaki ke sekolah. Sebab, debu di jalanan yang tak ubahnya lintasan trail menyeruak saat kendaraan melintas.

"Lihatmi itu sayur kutanam di depan pak, layu karena kena debu terus, banyak daunnya kering. Untung kadang hujan sekarang jadi tidak terlalu seperti biasanya seperti Anak kecil lebih kasian karena debu masuk rumah kalau ada mobil lewat," ujarnya.

Ditanya soal penutupan tambang yang hanya tiga hari itu ia mengaku tidak paham. Ia pun tak mau berspekulasi. Namun ia berharap pihak terkait menertibkan tambang yang beroperasi liar karena merusak lingkungan.

"Harapan kami tolong Bapak Ibu yang urus tambang perhatikan kami perbaiki ini jalan biar tidak banyak debunya. Tidak bisa tumbuh tanaman ta," pintanya.

Dikonfirmasi terpisah, Kapolres Tana Toraja AKBP Malacoppo mengaku tidak mengetahui pelanggaran hukum penambangan tanpa izin di wilayah tugasnya.

"Saya belum tahu, yang saya perintahkan saat ini adalah pendataan. Karena itu fenomena sosial yang tidak bisa diselesaikan sendiri," ujarnya saat dikonfirmasi wartawan seusai menggelar ibadah syukur masuk rumah dinas jabatan Kapolres, Jl Bhayangkara No 3 Makale, Sabtu sore.

Ia juga berdalih penutupan tambang tak berijin bukan ranah Kepolisian. Namun, ia mengaku akan berkoordinasi pihak terkait untuk proses selanjutnya.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved