9 Bulan Program MBG Dinilai Tersendat, Peneliti Soroti Lemahnya Implementasi dan Komunikasi

Evaluasi Monash Data & Democracy Research Hub menyoroti implementasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) selama 9 bulan yang dinilai tersendat...

Penulis: Redaksi | Editor: Donny Yosua
Tribun Toraja
MAKAN BERGIZI GRATIS - SDN 3 Kota Rantepao, Sulawesi Selatan, menikmati Makan Bergizi Gratis pada Senin (28/4/2025). Terkini, Evaluasi Monash Data & Democracy Research Hub menyoroti implementasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) selama 9 bulan yang dinilai tersendat, lemah dalam transparansi, serta masih menggunakan pola komunikasi top-down. 

TRIBUNTORAJA.COM – Monash Data & Democracy Research Hub merilis hasil evaluasi terkait narasi dan komunikasi publik program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari sejumlah platform media sosial seperti X, Instagram, dan TikTok.

Laporan tersebut menyebutkan bahwa selama sembilan bulan berjalan, program MBG tidak hanya mengalami hambatan dalam pelaksanaan, tetapi juga lemah dari sisi transparansi serta pengelolaan narasi publik.

Pada fase awal Januari hingga Mei 2025, narasi mengenai MBG di media sosial dipenuhi harapan, didukung oleh konten seremonial dan testimoni resmi.

 

 

Namun, memasuki Agustus–September 2025, muncul berbagai insiden dalam implementasi yang memicu meningkatnya konten korektif, kritik, hingga kemarahan publik.

Kepercayaan masyarakat pun bergeser, dari semula percaya pada klaim keberhasilan, menjadi menuntut bukti nyata.

Analisis juga mencatat adanya polemik pencabutan ID pers seorang wartawan di September 2025 (yang kemudian dikembalikan), yang semakin menguatkan perasaan publik bahwa mempertanyakan kebijakan MBG bukan hal yang aman.

Dari sisi naratif, grafik persepsi publik bergerak dari harapan → dissonance (ketidaksesuaian klaim dan fakta) → distrust (permintaan bukti dan akuntabilitas).

 

Baca juga: Siswa di Palopo Muntahkan Ayam Program MBG karena Masih Berdarah

 

Perbedaan Narasi di Media Sosial

  • Platform X dinilai menjadi arena kritik, verifikasi, dan tagar koreksi. Publik menuntut angka yang bisa diverifikasi, bukan sekadar slogan.
  • Instagram pada awalnya dipenuhi konten seremonial dan testimoni, namun beralih menjadi ruang keluhan orang tua murid serta cerita komunitas sekolah. Narasi di sini menekankan kebutuhan komunikasi yang empatik dan actionable.
  • TikTok sejak awal dipenuhi visi Presiden dan konten seremonial, tetapi kemudian menjadi akselerator ketidakpercayaan lewat video bukti visual terkait menu MBG, antrean kacau, hingga klaim pemerintah yang tidak sesuai kenyataan.

Kepercayaan publik lebih condong pada influencer lokal atau orang tua murid dibandingkan akun resmi pemerintah.

 

Baca juga: Ahli Gizi Unhas Ungkap Mengapa MBG Rentan Jadi Makanan Beracun Gratis

 

Pola Komunikasi Top-Down

Laporan ini menyoroti pola komunikasi MBG yang masih bersifat top-down, mengandalkan klaim makro dan juru bicara tunggal, tanpa cukup mengakui pengalaman mikro masyarakat seperti masalah rasa, higienitas, atau isu kehalalan makanan.

Hal ini kemudian memicu resistensi warga, viralnya video, hingga reaksi negatif ketika kebijakan dirasa memaksa kepatuhan.

Ika Karlina Idris, Co-Director Monash Data & Democracy Research Hub, menilai strategi komunikasi pemerintah hanya fokus pada agenda setting di media arus utama dan saluran resmi.

 

Baca juga: Siswa di Palopo Muntahkan Ayam Program MBG karena Masih Berdarah

 

“Sebenernya banyak segmen masyarakat yang antusias dengan program ini, namun karena banyak kasus, warga yang tadinya antusias kini menjadi cemas. Sayangnya, pemerintah hanya fokus ke komunikasi yang sifatnya agenda setting, seperti orkestrasi narasi di media massa dan saluran pemerintah,” ujarnya kepada KompasTV.

Ika menambahkan, pola komunikasi saat ini justru tidak berangkat dari pengalaman publik paling bawah, yaitu siswa dan orang tua murid.

“Program MBG ini adalah kebijakan yang sifatnya semua orang bisa menilai tanpa butuh pengetahuan banyak. Misalkan siapapun bisa menilai mana makanan yang basi dan layak makan. Maka tidak cukup strategi komunikasi yang sifatnya top down,” jelasnya.

 

Baca juga: Mensesneg: Semua Dapur MBG Ditargetkan Punya Sertifikat Higienis dalam Hitungan Minggu

 

Sementara itu, Grace Wangge, anggota Monash Data & Democracy Research Hub sekaligus pakar kesehatan masyarakat, menekankan pentingnya konteks sosial dalam komunikasi program kesehatan.

“Komunikasi kesehatan gagal bila hanya bicara angka penerima, tanpa memahami konteks sosial yang menentukan persepsi publik akan program kesehatan,” ujarnya.

(*)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved