Keterwakilan Perempuan dalam Pemilu 2024 di Kabupaten Toraja Utara: Antara Regulasi dan Realita

Ini menjadi dilema tersendiri bagi penyelenggara Pemilu yang harus memastikan pelaksanaan regulasi afirmatif berjalan optimal dan substantif.

|
Editor: Apriani Landa
ist
KETERWAKILAN PEREMPUAN - Kadiv Teknis Penyelenggaraan KPU Toraja Utara, Semuel Rianto Tappi’. Semuel menuangkan keterwakilan perempuan pada Pemilu 2024 belum sepenuhnya terpenuhi. 

Oleh Semuel Rianto Tappi
Anggota KPU Toraja Utara

TRIBUNTORAJA.COM - Pemilihan umum 2024 kembali menjadi momentum penting dalam upaya penguatan demokrasi dan inklusi politik di Indonesia, termasuk dalam hal keterwakilan perempuan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu secara tegas mengamanatkan keterwakilan minimal 30 persen perempuan dalam daftar calon legislatif sebagai bentuk afirmasi untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan

Namun, dalam praktiknya, pencapaian kuota tersebut masih menyisakan berbagai tantangan, baik secara struktural, kultural, maupun administratif.

Di Kabupaten Toraja Utara, fenomena serupa juga terjadi. 

Meskipun partai politik telah berupaya memenuhi ketentuan kuota 30 persen , kenyataan di lapangan menunjukkan masih adanya persoalan seperti pencalonan perempuan yang bersifat formalitas, minimnya kapasitas kader perempuan, dominasi elit politik laki-laki, hingga rendahnya dukungan masyarakat terhadap calon perempuan

Hal ini menjadi dilema tersendiri bagi penyelenggara Pemilu, khususnya KPU, yang harus memastikan pelaksanaan regulasi afirmatif berjalan optimal dan substantif.

Tulisan ini berangkat dari keprihatinan atas masih jauhnya gap antara normatifitas hukum dan kenyataan dalam implementasi keterwakilan perempuan dalam politik elektoral. 

Oleh karena itu, studi ini penting untuk menggali secara kritis dinamika pencalonan perempuan di Toraja Utara pada Pemilu 2024, mengidentifikasi hambatan-hambatan yang ada, serta menawarkan solusi dan rekomendasi kebijakan.

Pemilu merupakan instrumen utama dalam sistem demokrasi untuk memastikan keterwakilan rakyat secara adil dan setara, termasuk keterwakilan gender. 

Sejak diberlakukannya kebijakan afirmatif berupa kuota 30 persen perempuan dalam daftar calon legislatif (caleg), diharapkan akan terjadi peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, termasuk DPRD Provinsi. 

Namun, realitas politik menunjukkan bahwa meskipun banyak perempuan dicalonkan oleh partai politik, angka keterpilihan mereka masih sangat rendah. 

Hal ini mencerminkan adanya kesenjangan antara representasi administratifdan representasi substantif perempuan dalam politik.

Salah satu ironi besar dalam demokrasi elektoral kita adalah bahwa jumlah pemilih perempuan di setiap Daerah Pemilihan (DAPIL) justru lebih tinggi dibanding pemilih laki-laki, tetapi preferensi suara masih didominasi terhadap caleg laki-laki. 

Ini menjadi tanda bahwa keberadaan caleg perempuan belum mendapat dukungan yang cukup dari konstituen, bahkan dari sesama perempuan.

Terdapat beberapa faktor kunci yang melatarbelakangi rendahnya partisipasi pemilih untuk memilih caleg perempuan dan masih rendahnya kepercayaan terhadap mereka, antara lain:

1. Pencalonan yang Hanya Memenuhi Kuota

Banyak partai politik mencalonkan perempuan semata-mata untuk memenuhi syarat administratif 30 % keterwakilan perempuan, bukan berdasarkan kualitas, potensi elektabilitas, atau hasil kaderisasi politik. 

Hal ini membuat caleg perempuan ditempatkan di posisi yang tidak strategis dalam daftar calon (misalnya nomor urut buncit), dan tidak diberikan dukungan yang memadai baik secara logistik maupun politik.

2. Kurangnya Dukungan Partai Politik

Partai sering kali tidak memberikan pelatihan, pendampingan, atau pembiayaan kampanye yang setara kepada caleg perempuan

Dalam banyak kasus, caleg perempuan berjuang sendiri dalam kampanye tanpa dukungan yang memadai dari partainya.

3. Budaya Patriarkal dan Stigma Gender

Masyarakat masih memegang pandangan patriarkal yang menganggap politik sebagai dunia laki-laki. 

Perempuan sering kali dipersepsikan kurang tegas, tidak mampu mengambil keputusan politik, atau dianggap tidak layak memimpin. 

Hal ini menciptakan bias pemilih, termasuk dari kalangan perempuan sendiri.

4. Kurangnya Figur Teladan Perempuan dalam Politik

Minimnya tokoh perempuan yang sukses dan dikenal luas dalam dunia politik menyebabkan masyarakat tidak memiliki banyak role model yang bisa dijadikan panutan. 

Hal ini menghambat persepsi bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin publik yang efektif.

5. Rendahnya Akses ke Sumber Daya dan Media

Caleg perempuan umumnya memiliki keterbatasan dalam mengakses sumber daya kampanye, jaringan politik, dan eksposur media. 

Ketimpangan ini berdampak pada rendahnya visibilitas mereka di mata pemilih dan berkontribusi pada hasil pemilu yang tidak seimbang secara gender.

6. Minimnya Pendidikan Politik Berbasis Gender

Kurangnya literasi politik di masyarakat, khususnya mengenai pentingnya keterwakilan perempuan, menyebabkan pemilih tidak memahami bahwa memilih perempuan juga merupakan langkah strategis dalam mewujudkan kebijakan yang lebih inklusif dan responsif terhadap isu-isu perempuan dan keluarga.

Pembahasan Awal

1. Kebijakan Afirmasi Gender dalam Kerangka Hukum Pemilu

Langkah afirmatif untuk keterwakilan perempuan di Indonesia didasarkan pada komitmen nasional dan internasional terhadap prinsip kesetaraan gender. Dalam konteks hukum nasional, kebijakan afirmasi dituangkan dalam:

Pasal 245 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017, yang menyatakan bahwa daftar bakal       calon harus memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 % .

Pasal 8 ayat (2) PKPU No. 10 Tahun 2023tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yang mengatur secara teknis tentang penghitungan 30 % kuota perempuan di setiap daerah pemilihan.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008 yang menegaskan bahwa kuota 30 % perempuan bersifat minimal, bukan maksimal, dan bertujuan untuk mengatasi ketimpangan partisipasi perempuan.

Namun, implementasi kebijakan afirmasi ini tidak selalu berjalan mulus. 

Meskipun secara administratif partai politik telah mencantumkan minimal 30?lon perempuan dalam daftar calon legislatif, belum tentu calon tersebut mendapatkan nomor urut strategis atau peluang nyata untuk terpilih. 

Di sinilah muncul istilah "perempuan pelengkap", yang menunjukkan bahwa sebagian pencalonan hanya untuk memenuhi kewajiban hukum, bukan komitmen ideologis terhadap kesetaraan gender.

2. Potret Pencalonan Perempuan di Kabupaten Toraja Utara dalam Pemilu 2024

Berdasarkan hasil rekapitulasi dan verifikasi berkas bakal calon legislatif oleh KPU Kabupaten Toraja Utara, seluruh partai politik peserta Pemilu 2024 telah memenuhi syarat administratif kuota 30 % perempuan dalam daftar calon. 

Namun, terdapat beberapa temuan awal yang menunjukkan permasalahan substantif, antara lain:

Distribusi calon perempuan yang tidak meratadi setiap dapil.

Nomor urut calon perempuan cenderung di bawah(urutan 4 ke atas), sehingga peluang keterpilihan rendah.

Minimnya calon perempuan dari kalangan kader murni partai; sebagian besar berasal dari luar struktur partai dan direkrut menjelang pendaftaran.

Kurangnya pelatihan dan dukungan logistik dari partai terhadap calon perempuan.

Faktor-faktor ini memperkuat dugaan bahwa keterwakilan perempuan dalam pencalonan masih bersifat administratif dan belum substantif. 

Di sisi lain, minimnya keterlibatan aktif perempuan dalam struktur partai politik lokal juga mempersempit ruang politik perempuan untuk berkompetisi secara setara.

Kesimpulan

- Keterwakilan Perempuan Masih Rendah

Meskipun aturan kuota 30 % keterwakilan perempuan telah diterapkan, jumlah perempuan yang terpilih sebagai anggota DPRD kabupaten masih jauh dari angka ideal. Di kabupaten Toraja Utara bahkan tidak mencapai 15 % , 4 Kursi dari 30 kursi yang ada.

- Hambatan Struktural dan Sosial Masih Kuat

Budaya patriarkal yang masih mengakar di masyarakat.

- Minimnya dukungan partai politik terhadap kader perempuan.

Praktik pencalonan yang menempatkan perempuan di nomor urut tidak strategis

- Kaderisasi Perempuan Masih Lemah
Minimnya pelatihan kepemimpinan dan politik untuk kader perempuan.

Kurangnya ruang aktualisasi dan promosi kader perempuan di internal partai.

Banyak perempuan hanya dijadikan pelengkap administratif demi memenuhi syarat kuota pencalonan.

- Stigma dan Diskriminasi Gender

Masih ada anggapan bahwa politik bukan ranah perempuan.
Perempuan sering kali dinilai dari aspek non-substantif seperti penampilan atau status keluarga, bukan kapasitas politiknya.

Rekomendasi

1. Penguatan Kaderisasi Perempuan di Partai Politik

Partai politik wajib membuat program kaderisasi khusus perempuan yang berkelanjutan.
Mendorong promosi kader perempuan ke posisi strategis di struktur partai, bukan hanya di masa menjelang pemilu.

2. Peningkatan Kapasitas dan Pendidikan Politik

Lembaga penyelenggara pemilu, pemerintah daerah, dan LSM perlu menyediakan pelatihan tentang politik, kepemimpinan, komunikasi publik, dan manajemen kampanye bagi calon legislatif perempuan.
Perlu ada mentoring politik dari tokoh atau senior perempuan di legislatif.

3. Reformasi Sistem Pemilihan dan Pencalonan

Mendorong penerapan sistem zipper dalam daftar caleg, yakni menyusun daftar caleg dengan pola selang-seling antara laki-laki dan perempuan.

Memberikan insentif kepada partai politik yang berhasil mencetak kader perempuan berkualitas dan terpilih di parlemen.

4. Dukungan Finansial dan Logistik

Pemerintah atau lembaga donor dapat membuat program pendanaan kampanye untuk caleg perempuan yang lolos seleksi ketat berbasis kualitas dan rekam jejak.

Mendorong keterlibatan sektor swasta dan masyarakat sipil dalam mendukung kampanye politik perempuan.

5. Kampanye Publik dan Edukasi Gender

Perlu ada kampanye massif yang membangun kesadaran masyarakat mengenai pentingnya keterwakilan perempuan dalam politik.

Edukasi gender sejak dini di sekolah juga penting untuk mengikis stigma bahwa perempuan tidak layak memimpin.

6. Pengawasan Terhadap Implementasi Kuota Perempuan

KPU, Bawaslu, dan masyarakat sipil perlu memperketat pengawasan agar kuota 30 % tidak hanya dipenuhi secara administratif, tapi benar-benar substantif dan berdampak. (Semuel Rianto Tappi, Anggota KPU Kabupaten Toraja Utara)

(*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved