Tidak Layak Huni, Rencana Rumah Subsidi 18 Meter Persegi Batal

Maruarar menyatakan beberapa gambaran yang selama ini beredar perihal rumah subsidi mini tersebut masih sebatas draft.

Editor: Imam Wahyudi
kompas.com
Mock up rumah subsidi yang diluncurkan oleh Lippo Group 

TRIBUNTORAJA.COM - Menteri Perumahan dan Permukiman, Maruarar Sirait membatalkan rencana memperkecil luas rumah subsidi menjadi 18 meter persegi.

Pembatalan rencana itu disampaikan secara terbuka dalam Rapat Kerja dengan Komisi V DPR RI, Kamis (10/7/25).

"Soal rumah subsidi yang diperkecil, setelah mendengar begitu banyak sekali masukan termasuk teman-teman DPR Komisi V, maka saya sampaikan secara terbuka permohonan maaf dan saya cabut ide itu," ujarnya dalam rapat.

Maruarar menyatakan beberapa gambaran yang selama ini beredar perihal rumah subsidi mini tersebut masih sebatas draft.

Kata dia, draft tersebut masih dikaji hingga saat ini, seraya menunggu tanggapan atau respons dari publik.

"Namanya draft itu kita sampaikan ke publik, untuk mendapatkan respons. Nah, responsnya menurut saya, banyak yang negatif. Jadi ya saya, sportif saya batalkan. Jadi, saya harus begitu," kata pria yang akrab disapa Ara itu.

Menurutnya, ide tersebut awalnya datang dengan tujuannya yang baik.

Namun, memang tak semuanya bisa langsung diterima oleh publik.

"Tujuannya mungkin cukup baik tapi mungkin kami juga mesti belajar bahwa ide-ide di ranah publik harus lebih baik lagi," ujarnya. 

Ara mengaku sempat mempertimbangkan ide tersebut agar anak muda di Indonesia, terutama di DKI Jakarta bisa memiliki rumah di pusat kota.

"Jadi tujuannya sebenarnya cukup sederhana karena kami mendengar banyak sekali anak muda yang ingin tinggal di kota, tapi kalau tanahnya di kota mahal, jadi mau diperkecil," jelasnya.

Atas banyaknya masukan negatif cenderung penolakan tersebut, Ara memutuskan membatalkan rencana proyek tersebut.

"Jadi saya pikir, itu cara saya. Untuk bagaimana meyakinkan ini kebijakan perlu dijalankan enggak. Jadi, itu batal, titik," kata dia.

"Kenapa? Karena saya mendengarkan masukan dari DPR, dan komponen masyarakat, dan berbagai kalangan, bahwa itu dinilai tidak layak. Kesehatan dan sebagainya. Ya saya harus batalkan," katanya.

Untuk diketahui rencana pembangunan rumah subsidi 18 meter persegi itu tertuang dalam draf aturan terbaru yang beredar dan sedang dirancang, berupa Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025 tentang Batasan Luas Tanah, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah dalam Pelaksanaan Perumahan Kredit/Pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan. 

Apabila dibandingkan dengan aturan yang berlaku sebelumnya, yakni Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 689/KPTS/M/2023, batas minimal luas tanah dan luas bangunan rumah subsidi terlihat berkurang.

Unit minimal luas tanah dari 60 meter persegi berkurang menjadi 25 meter persegi.

Sementara minimal luas bangunan 21 meter persegi berkurang menjadi 18 meter persegi.

Sedangkan batas maksimal luas rumah subsidi masih tetap. Luas tanah maksimal 200 meter persegi dan luas bangunan maksimal 36 meter persegi.

Belakangan rencana Kementerian Perumahan dan Permukiman mengubah luas rumah subsidi dari ukuran 36 meter persegi menjadi 18 meter persegi itu mendapat banyak komentar negatif.

Banyak masyarakat yang menilai rumah tersebut terlalu kecil untuk ditinggali.

Kritik juga datang dari pelaku industri properti. Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembangan dan Pemasaran Rumah Nasional (Asprumnas) Muhammad Syawali Pratna menilai rumah dengan luas 18 meter persegi tidak layak bagi keluarga dengan anak.

"Bagaikan gudang ya. Gudang kan karena gini, kamar mandi kan juga harus ada sekatnya. Masa kamar mandi, nggak ada sekat? Sekat itu kan membatasi ruang," ungkapnya, Selasa (3/6/25).

Sementara itu, Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Joko Suranto menyebut rumah berukuran 18 meter persegi terlalu kecil menurut standar nasional dan internasional.

Ia menyarankan agar rumah tipe 18 lebih cocok digunakan untuk hunian vertikal.

"Kalau secara standar SNI atau WHO kan, itu juga harus dipikirkan sehingga kebijakan menjadi proper lah. Sehingga ada kajian yang mendasari hal itu," ujar Joko.(tribun network/mam/riz/dod)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved