Riset Mahasiswa Unhas: Konten Eksploitasi Hewan di Media Sosial Terbanyak dari Indonesia

Riset mahasiswa Unhas mengungkap 53 persen konten hewan di media sosial mengandung kekejaman. Indonesia jadi negara tertinggi dalam eksploitasi...

Penulis: Redaksi | Editor: Donny Yosua
Kompas.com
EKSPLOITASI HEWAN - Ilustrasi. Riset mahasiswa Unhas mengungkap 53 persen konten hewan di media sosial mengandung kekejaman. Indonesia jadi negara tertinggi dalam eksploitasi hewan digital. Tim SafePaw tawarkan strategi etis bagi pembuat konten. 
Ringkasan Berita:Tim mahasiswa Unhas menemukan 53 persen konten hewan di media sosial mengandung unsur kekejaman. Indonesia tercatat sebagai negara dengan eksploitasi hewan tertinggi di dunia. Melalui riset bertajuk “Eksploitasi atau Empati?”, mereka menyusun strategi perlindungan bernama SafePaw untuk meningkatkan kesadaran publik dan tanggung jawab pembuat konten.

 

TRIBUNTORAJA.COM, MAKASSAR – Tim mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) menemukan fakta mencengangkan: Indonesia menempati peringkat pertama secara global sebagai negara dengan konten eksploitasi hewan terbanyak di media sosial.

Temuan ini berangkat dari laporan Asia For Animal Coalition (AFA Coalition) tahun 2021 yang mencatat, dari total 5.480 konten eksploitasi hewan di dunia, sebanyak 1.626 konten (29,67 persen) berasal dari Indonesia.

Data tersebut mendorong Tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) Unhas melakukan riset lanjutan untuk mengkaji fenomena eksploitasi hewan di media sosial secara lebih mendalam.

 

 

Tim lintas fakultas ini diketuai Besse Anisa Mufida Sahrani, mahasiswa Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran (PSKH-FK) Unhas, bersama Nur Rifqah Zain (PSKH-FK), Putri Annisa (Ilmu Komunikasi FISIP), dan Andi Febriyanti (Statistika FMIPA).

Mereka dibimbing oleh drh Rian Hari Suharto MSc.

Penelitian bertajuk “Eksploitasi atau Empati? Analisis Pelibatan Hewan untuk Keuntungan Finansial di Media Sosial dengan Perspektif Animal Ethics dan Animal Welfare” ini menelusuri bagaimana hewan digunakan sebagai objek konten yang menghasilkan keuntungan finansial.

 

Baca juga: DKI Jakarta Siapkan Aturan Larangan Penjualan Daging Anjing dan Kucing

 

Dari hasil analisis terhadap 100 video di Instagram, TikTok, dan YouTube, tim menemukan bahwa 53 persen di antaranya mengandung unsur kekejaman terhadap hewan.

Kucing dan anjing menjadi hewan yang paling sering digunakan, dengan monetisasi terbanyak berasal dari endorsement, disusul penjualan produk dan iklan.

Dalam rilis yang diterima Tribun-Timur.com, Kamis (16/10/2025), tim juga mengkaji persepsi 421 responden dari sembilan provinsi di Indonesia.

 

Baca juga: Warga Pantan Makale Resah Kotoran Ternak Berserakan di Pekarangan, Lurah Buat Surat Edaran

 

Mayoritas responden mampu mengenali bentuk eksploitasi hewan di media sosial, terutama pada praktik seperti sabung ayam dan topeng monyet.

Namun, kesadaran dan empati menjadi faktor penting dalam kemampuan menilai perlakuan terhadap hewan.

“Kemampuan responden untuk menilai perlakuan terhadap hewan dipengaruhi oleh sejauh mana mereka menyadari adanya praktik eksploitasi dan seberapa tinggi tingkat empati yang dimiliki,” tulis tim peneliti.

 

Baca juga: Hindari Anjing, Mobil Jatuh ke Sungai di Jl Poros Nanggala-Palopo

 

Dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan para ahli, seorang pakar kesejahteraan hewan menegaskan bahwa praktik pelibatan hewan dalam konten media sosial seringkali merupakan bentuk eksploitasi yang terselubung.

“Eksploitasi ini terlihat jelas ketika hewan diperlakukan tidak sesuai perilaku alaminya,” ujar pakar tersebut.

 

Baca juga: Rumah Mertuanya Dijarah, Uya Kuya Minta Pelaku Kembalikan Barang dan Kucing

 

Tantangan Regulasi dan Moderasi Konten

Ketiadaan regulasi spesifik menjadi salah satu penyebab maraknya eksploitasi hewan di ruang digital.

Seorang narasumber dari unsur pemerintah menyebut, aturan yang secara khusus mengatur penggunaan hewan di media sosial belum ada.

Namun, jika tindakan tersebut tergolong penganiayaan berat, dapat dijerat dengan UU Nomor 18 Tahun 2009 dan UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta PP Nomor 95 Tahun 2012.

Aktivis kesejahteraan hewan menambahkan, moderasi konten di Indonesia masih lemah dibanding negara lain.

“Di Inggris, laporan kekejaman hewan akan menghasilkan notifikasi pelanggaran (violation notice) kepada pembuat konten. Di Indonesia, mekanisme seperti itu belum bisa diterapkan,” ujarnya.

 

Baca juga: Kucing Presiden Prabowo, Bobby Kertanegara Tampil Pakai Tenun Ikat Tanimbar di HUT ke-80 RI

 

Strategi “SafePaw” untuk Perlindungan Hewan

Berdasarkan hasil riset, tim peneliti yang menamakan dirinya Tim SafePaw Unhas merancang model perlindungan terhadap eksploitasi hewan di media sosial.

Model ini melibatkan pembuat konten, masyarakat, platform digital, serta pemerintah.

Beberapa strategi utama yang disarankan antara lain:

  • Pembuat konten tidak melibatkan hewan jika tidak benar-benar diperlukan.
  • Diperlukan panduan etika dalam penggunaan hewan untuk konten digital.
  • Masyarakat perlu memahami prinsip Five Freedoms dan Five Domains dalam memperlakukan hewan.
  • Warganet diharapkan proaktif melaporkan konten eksploitasi hewan.
  • Platform media sosial perlu menyediakan fitur pelaporan yang efektif.
  • Kolaborasi lintas sektor untuk edukasi dan pengawasan berkelanjutan.

Tim SafePaw berharap, model ini dapat meningkatkan kesadaran publik dan mendorong pembuat konten lebih bertanggung jawab dalam menampilkan hewan di media sosial.

“Upaya edukasi publik terus kami lakukan melalui akun Instagram @safepaw_pkmrsh,” kata Besse Anisa Mufida.

(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved