Dusun Makmur Maros Tidak Makmur, Tak Ada Jembatan, Gondola Jadi Akses Keluar Warga
Dengan seragam yang masih rapi, ia bersama teman-temannya bergantian menarik tali gondola agar bisa mencapai seberang.
TRIBUNTORAJA.COM - Di Dusun Makmur, Desa Bonto Manurung, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros, Sulsel, anak-anak harus menyeberangi sungai selebar 400 meter agar bisa ke sekolah.
Namun, mereka tidak melewati jembatan, melainkan gondola sederhana yang digerakkan secara manual.
Di antara mereka ada Farel, siswa kelas 3 SD.
Dengan seragam yang masih rapi, ia bersama teman-temannya bergantian menarik tali gondola agar bisa mencapai seberang.
“Biasanya kami berangkat jam 06.30 dan sampai sekolah sekitar jam 08.30,” ujarnya.
Sebelum ada gondola, ia harus menyeberangi sungai dengan berjalan kaki.
“Kalau air sungai naik, saya sering tidak ke sekolah karena takut menyeberang,” katanya.
Hal yang sama dirasakan Misra.
Baginya, gondola adalah satu-satunya jalan.
“Mau tidak mau lewat sini, karena tidak ada jalur lain ke sekolah,” ucapnya.
Gondola yang mereka gunakan bukanlah fasilitas resmi pemerintah, melainkan hasil swadaya pemilik tanah dan masyarakat.
Dibutuhkan waktu sekitar 5–7 menit untuk bisa sampai ke seberang, tergantung siapa yang menarik tali.
Katrol sederhana dipasang di tiang beton sebagai penggeraknya.
Sekretaris Desa Bonto Manurung, Yustandi, menjelaskan warga juga menggunakan gondola tersebut untuk membawa hasil bumi.
“Kalau air surut, masyarakat biasanya membuat jembatan kayu dan susunan batu agar bisa dilewati roda dua. Tapi kalau air naik, arus bisa sampai 6–7 meter dan sangat deras,” jelasnya.
Sedikitnya, ada 50 pelajar dan 70 kepala keluarga di Dusun Makmur yang bergantung pada gondola itu setiap hari.
Mereka menaruh harapan agar pemerintah segera membangun jembatan permanen yang lebih aman dan layak.
Sambil menunggu, warga dan pemerintah desa berencana mencari solusi jangka pendek, yaitu memasang dinamo agar gondola bisa bergerak otomatis, tanpa harus ditarik manual.
Sejarah Gondola
Istilah gondola awalnya berasal dari Venesia, Italia, merujuk pada perahu kayu tradisional yang digunakan sejak abad ke-11 untuk transportasi di kanal-kanal Venesia.
Gondola di sana digerakkan dengan dayung panjang oleh seorang gondolier.
Hingga kini, gondola Venesia dikenal sebagai ikon wisata dunia.
Namun, istilah gondola kemudian meluas penggunaannya:
Gondola Transportasi Pegunungan (Cable Car / Aerial Tramway)
Dikembangkan di Eropa pada abad ke-19.
Awalnya digunakan di area pertambangan Alpen untuk mengangkut hasil tambang.
Lalu diadaptasi untuk transportasi manusia di daerah pegunungan Swiss, Austria, Jerman.
Tahun 1907, di Austria dibangun salah satu gondola penumpang pertama di dunia (Wetterhorn Elevator).
Gondola Modern
Kini banyak dipakai sebagai kereta gantung wisata di daerah pegunungan atau objek wisata, misalnya di Genting (Malaysia), Ngong Ping (Hong Kong), atau Taman Mini (Indonesia).
Mekanisme umumnya menggunakan kabel baja, katrol, dan dinamo/mesin listrik.
Gondola Tradisional di Indonesia (Swadaya)
Di beberapa daerah pedalaman Indonesia, termasuk di Dusun Makmur, Sulawesi Selatan serta di Pulau Kalimantan, hingga Papua, masyarakat membangun gondola manual sederhana sebagai alternatif jembatan.
Biasanya terbuat dari besi, kayu, atau rakitan sederhana yang ditarik secara manual dengan tali.
Fungsinya untuk menyeberangi sungai deras yang sulit dibangun jembatan permanen karena faktor biaya dan akses.
Jadi, secara global gondola berawal dari perahu di Venesia, lalu istilah ini berkembang menjadi kereta gantung untuk transportasi pegunungan, dan di Indonesia sering merujuk pada alat transportasi gantung sederhana untuk menyeberangi sungai.
Kondisi Dusun Makmur
Dusun Makmur berada di dataran tinggi dengan kondisi geografis pegunungan dan dikelilingi hutan.
Akses jalan menuju dusun masih terbatas, banyak jalan berbatu dan tanah yang sulit dilalui saat hujan.
Tidak ada jembatan permanen untuk menyeberangi sungai sepanjang 400 meter yang memisahkan dusun ini dengan wilayah seberang.
Sebagai alternatif, warga membangun gondola manual dari swadaya masyarakat untuk menyeberang.
Gondola ini menjadi satu-satunya akses bagi pelajar dan warga ke seberang sungai saat air sungai meluap.
Penduduk Dusun Makmur mayoritas bekerja sebagai petani dan pekebun.
Sebagian kecil menjadi buruh tani dan pekerja informal.
Hasil bumi dijual ke pasar di kecamatan, dengan mengandalkan gondola untuk menyeberangi sungai.
Desa Bonto Manurung memiliki luas wilayah 40,55 km⊃2; dan jumlah penduduk sebanyak 1.379 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk sebanyak 34,01 jiwa/km⊃2; pada tahun 2017.
Pusat pemerintahan desa ini berada di Dusun Sejahtera.(nurul)
Jago Merah Ngamuk di Desa Sorowako Luwu Timur, 46 Rumah Terbakar, Warga Mengungsi di Kapal Feri |
![]() |
---|
Warga Marinding Tana Toraja Minta Alat Antropometri untuk Posyandu |
![]() |
---|
FKIP UKI Toraja Tambah 124 Lulusan, Ini Sejarah Kampus Kebanggaan Sang Torayan |
![]() |
---|
Siapa Cak Nur yang Namanya Disebut JK Saat Resmikan Kampus Baru Universitas Paramadina |
![]() |
---|
Pelantun Lagu Viral 'Pica-pica', Juan Reza Bakal Konser di Rantepao Toraja Utara September 2025 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.