Menkumham Imipas Pastikan Hukuman Mati tak Dihapus Meski Prabowo tak Setuju 

pidana mati tidak serta merta dilaksanakan setelah putusan pengadilan. KUHP mengatur bahwa pidana mati hanya dapat dieksekusi setelah permohonan grasi

Editor: Imam Wahyudi
kompas.com
 Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra 

"Beberapa agama di masa lalu mungkin membenarkan pidana mati berdasarkan doktrin dan hukum agama tersebut, namun dalam perkembangan teologis masa kini, ada pula tafsir baru yang menolak pidana mati," tuturnya.

KUHP Nasional, lanjut Yusril, mengambil jalan tengah antara berbagai pendekatan.

"Pidana mati dikenal dalam Hukum Pidana Islam, hukum pidana adat, maupun dalam KUHP warisan Belanda. Kita menghormati hukum yang hidup atau the living law dalam masyarakat. Karena itu, kita tidak menghapuskannya, tetapi merumuskan pidana mati sebagai upaya terakhir yang pelaksanaannya dilakukan dengan penuh kehati-hatian," ujarnya.

Sebelumnya, Yusril menyebut Presiden Prabowo Subianto tidak ingin ada narapidana yang diberi hukuman mati.

Dia mengatakan bukan hanya untuk narapidana korupsi melainkan untuk seluruh narapidana dengan kasus apa pun.

Prabowo masih ingin memberikan pengampunan dan kesempatan bagi para narapidana. Yusril mengatakan pernyataan Prabowo itu sah dan sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. 

“Apa yang dikatakan oleh Presiden Prabowo mengenai hukuman mati bagi tindak pidana korupsi itu benar dilihat dari segi hukum positif yang berlaku," kata Yusril.

"UU Tipikor memang membuka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwa korupsi yang terbukti melakukan kejahatan tersebut 'dalam keadaan tertentu'," tambah dia.

Yusril menjelaskan dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dijelaskan keadaan tertentu bagi napi kasus korupsi yang bisa dijatuhi hukuman mati.

Kala itu Yusril yang menjabat Menteri Hukum dan Perundang-undangan era Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid, ikut merancang UU Tipikor. 

"Saya sendiri ketika itu mewakili Presiden membahas RUU tersebut dengan DPR. Dalam keadaan tertentu itu adalah keadaan-keadaan yang luar biasa seperti keadaan perang, krisis ekonomi maupun bencana nasional yang sedang terjadi," jelas Yusril.

"Meskipun UU telah membuka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman mati dalam keadaan seperti itu, sampai saat ini belum pernah ada penjatuhan hukuman mati terhadap terdakwa korupsi,” tambah Yusril.

Yusril menekankan, kebijakan Prabowo mencerminkan sikap kenegarawanan yang menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dan kemanusiaan.

“Itulah maksud Presiden Prabowo, sebagai Presiden beliau tidak ingin melaksanakan hukuman mati terhadap napi mana saja dan kasus apa saja. Sebab jika seseorang sudah dieksekusi mati, tidak ada lagi kesempatan kita menghidupkan kembali orang tersebut, walaupun hakim sudah menyatakan 99,9 persen orang itu terbukti bersalah," kata Yusril.

"Tetapi tetap tersisa 0,1 persen kemungkinan dia tidak bersalah. Itu maksud Presiden Prabowo. Presiden berbicara bukan sebagai seorang hakim, tetapi sebagai seorang negarawan, sebagai bapak bangsa yang berjiwa besar dan mengedepankan sisi kemanusiaan daripada sisi lainnya,” tutup Yusril.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved