Dinilai Bertentangan dengan Komitmen HAM Internasional, Ini Poin Bermasalah dalam RUU TNI

Rancangan revisi UU TNI melanggar prinsip-prinsip yang telah direkomendasikan dalam berbagai forum internasional, seperti Komite Hak Sipil dan...

|
Editor: Donny Yosua
Kompas.com/Singgih Wiryono
RUU TNI - 3 Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sektor Keamanan saat mencoba masuk ruang rapat Panja Revisi UU TNI DPR-RI dan Kemenhan di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu (15/3/2025). 

TRIBUNTORAJA.COM, JAKARTA – Sebanyak 34 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG) mengecam pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

Mereka menilai revisi ini tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga bertentangan dengan berbagai rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta kewajiban hukum hak asasi manusia (HAM) yang telah disepakati oleh Indonesia.

Menurut pernyataan koalisi yang diterima Kompas TV, Minggu (16/3/2025), rancangan revisi UU TNI melanggar prinsip-prinsip yang telah direkomendasikan dalam berbagai forum internasional, seperti Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global lainnya, termasuk Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT).

Sebagai negara yang telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT), Indonesia memiliki kewajiban untuk memastikan akuntabilitas militer serta perlindungan hak-hak sipil.

 

 

Tuntutan Koalisi Masyarakat Sipil

Koalisi Masyarakat Sipil mengajukan sejumlah tuntutan kepada DPR RI dan pemerintah, di antaranya:

  1. Menghentikan pembahasan revisi UU TNI karena dinilai bermasalah secara prosedural dan bertentangan dengan rekomendasi CCPR serta UPR.
  2. Membentuk panitia independen untuk meninjau ulang draf revisi dengan melibatkan Komnas HAM, korban pelanggaran HAM, serta masyarakat sipil.
  3. Meminta Komnas HAM dan Kementerian Hukum dan HAM menekan DPR agar menolak revisi UU TNI yang dinilai bertentangan dengan standar HAM internasional.

Koalisi menegaskan bahwa jika revisi ini tetap dipaksakan, Indonesia berisiko menghadapi konsekuensi serius di forum HAM internasional, termasuk kemungkinan sanksi diplomatik serta penurunan peringkat kebebasan sipil.

 

Baca juga: Bermacam Alasan DPR RI Gelar Rapat Panja RUU TNI di Hotel Mewah Jakarta saat Efisiensi Anggaran

 

Revisi UU TNI Bertentangan dengan Rekomendasi Internasional

Sejumlah rekomendasi dari lembaga HAM internasional yang dinilai bertolak belakang dengan revisi UU TNI, antara lain:

  1. Komite HAM PBB (2023) – Mendesak Indonesia mengakhiri impunitas militer, mengadili pelanggaran HAM di pengadilan sipil, serta menghentikan operasi militer berlebihan di Papua.
  2. UPR 2022 – Merekomendasikan agar Indonesia menghentikan bisnis militer dan membatasi peran TNI hanya untuk menghadapi ancaman eksternal.
  3. Pelapor Khusus PBB tentang Penyiksaan – Mengungkap masih adanya praktik penyiksaan oleh aparat militer di wilayah konflik.

 

Baca juga: DPR RI Bahas RUU TNI di Hotel Mewah saat Efisiensi, Ketua Komisi I: Dari Dulu Kok Nggak Kamu Kritik?

 

Poin Bermasalah dalam Revisi UU TNI

Koalisi menyoroti beberapa pasal dalam revisi UU TNI yang dinilai memiliki dampak serius terhadap demokrasi dan reformasi sektor keamanan, di antaranya:

1. Bertentangan dengan Rekomendasi CCPR dan UPR

Pasal 65 dalam revisi UU TNI mempertahankan yurisdiksi pengadilan militer dalam kasus pelanggaran HAM, yang bertentangan dengan rekomendasi CCPR No. 45/2023 dan Prinsip Yurisdiksi Universal dalam Statuta Roma ICC.

Selain itu, operasi militer di Papua yang tidak mengikuti protokol HAM dinilai melanggar Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).

 

2. Menghidupkan Kembali Dwifungsi TNI

Sejumlah pasal dalam revisi UU TNI memungkinkan militer terlibat dalam urusan sipil, termasuk program pembangunan dan keamanan domestik.

Hal ini melanggar Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Peran Militer yang telah ditegaskan dalam rekomendasi UPR 2017.

 

3. Bisnis Militer Masih Dibiarkan

Revisi UU TNI tidak mencantumkan aturan yang melarang keterlibatan militer dalam bisnis.

Ini bertentangan dengan UN Guiding Principles on Business and Human Rights serta rekomendasi UPR yang meminta Indonesia menghentikan eksploitasi sumber daya alam oleh aktor militer.

 

Baca juga: Revisi UU TNI Bikin Tentara Bisa Urus Narkoba dan Pertahanan Siber

 

4. Lemah dalam Pencegahan Penyiksaan

Tidak adanya mekanisme yang jelas untuk mencegah praktik penyiksaan dalam operasi militer menunjukkan ketidakpatuhan terhadap Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT), yang mewajibkan Indonesia memastikan perlindungan terhadap korban penyiksaan.

5. Berpotensi Menghambat Ratifikasi Statuta Roma ICC

Revisi UU TNI dinilai memperkuat impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat, bertentangan dengan janji Indonesia dalam UPR 2017 untuk segera meratifikasi Statuta Roma ICC.

6. Berisiko Mengembalikan Pola Orde Baru

Beberapa pasal dalam revisi UU TNI mengatur peran militer dalam program seperti TNI Manunggal Membangun Desa dan operasi keamanan domestik.

Hal ini dianggap menghidupkan kembali dwifungsi TNI, yang selama Orde Baru menjadi alat represif terhadap masyarakat sipil.

Padahal, UU No. 34/2004 telah membatasi peran TNI hanya dalam urusan pertahanan eksternal.

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa dwifungsi TNI menjadi akar dari berbagai pelanggaran HAM, korupsi, serta dominasi militer dalam politik sipil.

 

Baca juga: Koalisi Aktivis Sipil Protes Rapat RUU TNI di Hotel Mewah, Soroti Transparansi dan Dwifungsi TNI

 

Ancaman bagi Demokrasi

Jika revisi ini tetap disahkan tanpa perbaikan, Indonesia berpotensi mengalami kemunduran dalam reformasi militer dan demokrasi.

Selain itu, posisi Indonesia dalam forum HAM internasional juga terancam, termasuk kemungkinan mendapat tekanan diplomatik dari komunitas global.

Dengan banyaknya kritik dari berbagai elemen masyarakat sipil, revisi UU TNI masih menjadi perdebatan yang perlu dikaji ulang agar tidak mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan hak asasi manusia.

(*)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved