Hari Ini dalam Sejarah

Anak Jenderal Korban G30S PKI Ungkap PKI Berjaya dan Kondisi Ekonomi Memprihatinkan di Tahun 1965

Sebagai remaja, Nani mengakui bahwa dirinya tidak sepenuhnya memahami situasi politik yang terjadi di Indonesia saat itu.

|
Penulis: Redaksi | Editor: Donny Yosua
Kompas.com
Sampul buku karya Nani Sutojo, anak dari Jenderal Sutojo Siswomihardjo. 

TRIBUNTORAJA.COM, JAKARTA - Tanggal 30 September menjadi salah satu momen kelam dalam sejarah Indonesia.

Pada hari tersebut, tujuh jenderal TNI meninggal dunia secara tragis, dan jasad mereka ditemukan di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Mereka kini dikenang sebagai pahlawan revolusi.

 

 

Peristiwa ini tercatat sebagai bagian dari sejarah yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang di balik tragedi tersebut.

Nani Nurachman Sutojo, putri dari salah satu korban, Jenderal Sutojo Siswomihardjo, mengungkapkan kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang melingkupi peristiwa itu.

Dalam bukunya yang berjudul Kenangan Tak Terucap, Saya, Ayah, dan Tragedi 1965 (Penerbit Kompas, 2013), Nani menceritakan bahwa pada awal tahun 1965, PKI tengah berada di puncak kejayaannya.

 

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Film G30S PKI, Tayangan Wajib di Akhir September pada Era Orde Baru

 

"Pada waktu itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang dalam masa kejayaan. PKI merupakan partai komunis terbesar di negara-negara nonkomunis," tulis Nani, yang saat itu berusia 15 tahun.

PKI sering menjadi sorotan media dengan slogannya seperti Kapitalis Birokrat-Kabir dan Tujuh Setan Desa.

Di tengah situasi tersebut, Indonesia juga sedang terlibat dalam konfrontasi dengan

 

Baca juga: Besok Peringatan 59 Tahun G30S/PKI, Siapa Saja Tokoh Utama Gerakan Ini?

 

Malaysia. Presiden Soekarno sering menggelorakan semangat anti-Malaysia dalam pidatonya dengan ungkapan "Ganyang Malaysia!" dan "Go to Hell with Your Aid!"

Namun, di balik keberhasilan PKI di bidang politik, kondisi ekonomi Indonesia justru sangat buruk.

"Yang saya ingat, situasi ekonomi sebelum Tragedi 1965 sangat memprihatinkan," ungkap Nani.

 

Baca juga: TAP MPRS 33/1967 Resmi Dicabut, Bamsoet: Soekarno Tidak Pernah Berkhianat Dukung PKI

 

Meski ayahnya adalah perwira tinggi militer, keluarganya pun merasakan dampak dari kesulitan ekonomi yang melanda rakyat.

"Kami hanya mendapat beras dengan kualitas yang sangat buruk, dan sering kali harus menukarnya di pasar dengan tambahan biaya," tambahnya.

Nani juga bercerita tentang perjuangannya mengantre minyak tanah bersama sopir ayahnya untuk mendapatkan satu jeriken.

 

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Pemberontakan G30S PKI dan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober

 

"Sebagian besar rakyat kita saat itu memang hidup dalam kemiskinan, dan kebutuhan dasar sulit untuk dipenuhi," kenangnya.

Meski demikian, rakyat dan mahasiswa tetap diwajibkan untuk ikut pelatihan militer sebagai sukarelawan menghadapi konfrontasi dengan Malaysia.

Banyak istri prajurit juga mengikuti indoktrinasi politik di Wisma Yani, Jalan Taman Suropati, Jakarta.

 

Baca juga: Presiden Jokowi Akan Nyatakan 39 Warga Eksil Akibat Peristiwa G30S PKI 1965 Bukan Pengkhianat Negara

 

Sebagai remaja, Nani mengakui bahwa dirinya tidak sepenuhnya memahami situasi politik yang terjadi di Indonesia saat itu.

"Semuanya terasa samar. Saya tidak benar-benar mengerti situasi sosial politik yang terjadi, dan saya takut bertanya kepada ayah karena khawatir dimarahi," ceritanya.

Termasuk ketika pada malam yang kelam, ayahnya dijemput paksa oleh pasukan Cakrabirawa.

"Semuanya terjadi begitu cepat. Ayah dibawa pergi oleh sekelompok tentara yang mengaku dari pasukan pengawal Presiden Soekarno, Cakrabirawa. Saat itu, ayah masih mengenakan pakaian tidur bermotif batik. Tidak terbesit sedikit pun dalam pikiran kami, bahwa itu adalah saat terakhir kami melihatnya," ujar Nani.

(*)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved