Opini Tribun

Kotak Kosong dan Penghinaan Kaum Intelektual

Dalam ilmu sosial, istilah ini sebenarnya istilah yang umum, bahwa manusia adalah mahluk sosial yang butuh berinteraksi dengan masyarakat lainnya.

Editor: Imam Wahyudi
zoom-inlihat foto Kotak Kosong dan Penghinaan Kaum Intelektual
ist
Saparuddin Santa

Mengapa sekelompok orang atau segolongan tertentu, terutama kelompok yang ingin mendorong kandidat tertentu maju di Pilkada Sulsel, seolah-olah ingin bertarung sendiri dan hanya berhadapan dengan Kotak Kosong?

Tentu dalam demokrasi itu sah dan tidak melanggar undang-undang.

Tetapi apa iya, diantara penduduk Sulsel yang jumlahnya lebih 9 juta jiwa ini, hanya satu orang yang memiliki kapasitas menjadi Gubernur?

Dan jika kandidat yang merasa yakin bisa mengalahkan calon lain, mengapa dia dan kelompoknya ingin mendorong untuk berhadapan dengan kotak kosong?

Takut kalahkah? Atau tidak percaya diri menghadapi calon lainnya?

Di luar pertanyaan-pertanyaan diatas, tentu disetiap kepala kita, banyak sekali pertanyaan lain yang muncul.

Tetapi bagi penulis, sebenarnya yang terjadi di Sulsel sekarang ini adalah perebutan kuasa atas ketokohan.

Ada orang atau kelompok yang merasa begitu dominan dan “ingin sekali” menjadi “yang sebagai”.

Dengan kekuatan kuasa dan kekuatan financial yang dimilikinya, dia mungkin merasa bahwa dialah “sang penentu” masa depan Sulawesi Selatan.

Dia lupa satu hal, bahwa, rakyat, terutama kaum terdidik, sedang merasa muak dengan situasi yang sedang dipertontonkan oleh kelompok-kelompok atau orang-orang yang merasa paling berhak menentukan nasib warga Sulsel.

Apa yang dilakukan oleh kelompok tersebut, yang sedang “memaksakan” untuk hanya satu pasangan calon dan kemudian ingin menghadapi kotak kosong di Pilkada Gubernur November nanti, sesungguhnya sedang menghina kaum intelektual di Sulsel.

Mereka bisa saja mengatakan dan yakin bahwa mereka akan menang dalam menghadapi kotak kosong, tapi jangan lupa bahwa, orang Sulsel jika merasa terhina dan direndahkan maka akan melakukan perlawanan secara serentak dan massif.

Ini sudah terbukti di Pilkada Wali Kota tahun 2018 lalu.

Saat kelompok pasangan Appi-Cicu, memborong 10 partai politik dan menghadapi kotak kosong.

Nafsu zoon politik untuk berkuasa penuh di Sulsel mestinya diarahkan untuk membangun demokrasi yang sehat dan memberikan pembelajaran politik bagi generasi.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved