Kekerasan Seksual
Kekerasan Seksual Perempuan di Bawah Umur di Enrekang Masih Marak, Pelaku Rata-rata Orang Dekat
DP3A Enrekang mencatat sebanyak 31 kasus kekerasan seksual yang terjadi sepanjang tahun 2022.
Penulis: Redaksi | Editor: Muh. Irham
ENREKANG, TRIBUNTORAJA.COM - Kasus kekerasan seksual kepada perempuan di bawah umur masih marak terjadi di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (17/1/2023).
Hal itu berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Enrekang.
DP3A Enrekang mencatat sebanyak 31 kasus kekerasan seksual yang terjadi sepanjang tahun 2022.
Mirisnya, rata-rata para pelaku berasal dari orang-orang terdekat korban.
Mantan Kadis Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Enrekang, Burhanuddin dari jumlah kasus itu satu diantaranya sangat memprihatinkan.
Pasalnya, pelaku dan korban masih berada dalam hubungan sedarah.
"Kasus ini sangat memprihatinkan karena pelaku merupakan seorang Ayah yang merudapaksa anak kandungnya sendiri," ujar Burhanuddin saat ditemui di Kantor DP3A Enrekang.
Bahkan, korban dipaksa berhubungan berulang kali dan rupanya telah dilakukan sejak tahun 2019 hingga 2022.
"Saat itu korban masih duduk di bangku SMP hingga sampai selesai SMA," urai Burhanuddin.
Menurut Burhanuddin, kasus kekerasan seksual kepada anak masih banyak yang belum terungkap lantaran pihak keluarga enggan melaporkan.
Hal itu lantaran para pelaku kerap mengancam para korban bila ingin melapor.
Disamping itu, banyak dari pihak keluarga korban enggan melaporkan sebab dianggap aib keluarga.
Akibatnya korban mengalami trauma berat.
Kebanyakan korban yang menjadi sasaran kekerasan seksual masih berusia belasan tahun.
"Ada yang masih berusia 15 tahun bahkan sampai 14 tahun ke bawah," sebutnya.
Kendati demikian, DP3A Enrekang telah melakukan sosialisasi, baik di lingkup sekolah maupun lingkungan masyarakat.
Begitupun melakukan pendampingan terhadap korban jika ada kasus-kasus baru.
"Pertama, yang kami lakukan adalah korban harus dulu visum, karena terkadang si korban berujung trauma maka kami bawa ke Makassar untuk pendampingan psikolog," kata Burhanuddin.
Kedua, DP3A juga sering melakukan pendampingan terhadap korban prostitusi online atau perilaku booking online (BO).
"Kami bawa 2 kemarin ke Kabupaten Gowa untuk pendampingan rehabilitasi," katanya.
"Selain itu untuk korban kekerasan seksual lainnya, kami selalu memenuhi standar hak dasarnya yakni pendidikan. Ada yang kami sekolahkan di pesantren namun tidak sembarang ditempatkan. Kami harus cari sekolah yang tidak ada yang tahu terhadap kasusnya si korban," tambahnya.
Sebagai langkah pencegahan, dibutuhkan semua peran dari semua pihak, baik instansi pendidikan, pemerintah, lembaga-lembaga sosial, hingga lingkungan keluarga.
"Intinya semua kita harus libatkan agar kasus-kasus semacam ini tidak terulang lagi," harapnya.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.