Rambu Solo', Pemakaman Anak Pong Masangka Mengikuti Kearifan Lokal

Penulis: Redaksi
Editor: Apriani Landa
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Lantang untuk penerimaan tamu pada proseso Rambu Solo' untuk Ne' Linggi' sementara dalam proses penyelesaian.

TRIBUNTORAJA.COM, RANTEPAO - Anak ketiga Pong Masangka, Yuli Maria Tangkeallo atau Ne’ Linggi’, akan dimakamkan pada secara adat ritual Rambu Solo' yang puncak acaranya pada pertengahan April 2024 nanti.

Rambu Solo' akan digelar di Tongkonan Ne’ Linggi’ di Pangrante, Kelurahan Pangli, Kecamatan Sesean, Toraja Utara.

Sekedar diketahui bahwa Pong Masangka merupakan salah satu rekan seperjuangan Pong Tiku mengusir penjajah Belanda di Toraja.

Ne' Linggi' ini meninggal pada tanggal 21 Agustus 2021 lalu. Ia meninggal di usia 88 tahun.

Ne’ Linggi’ memiliki tujuh orang anak dan hampir semuanya merantau. Karena inipulalah yang membuat prosesi Rambu Solo' untuk Ne' Linggi' harus diundur sekitar dua tahun.

Baca juga: Tradisi Mangriu Batu Simbuang di Acara Rambu Solo, Penanda Status Bangsawan Toraja

"Karena kami mencari waktu yang tepat di mana semua rumpun keluarga bisa kumpul semuanya. Selain itu, kami adakan setelah Lebaran karena ada beberapa keluarga kami juga yang Muslim," ucap Daniel Pongmasangka atau Papa’ Linggi’, putra pertama Ne' Linggi'.

Saat ini sudah dalam proses menuju acara adat. Pada umumnya, acara adat di Toraja melibatkan banyak orang yang merupakan rumpun keluarga, sehingga perlu dibuatkan lantang atau pondok.

Sejumlah Lantang dibangun di sekitar Tongkonan keluarga yang berduka.

Baca juga: Tradisi Adu Kerbau dalam Rangkaian Upacara Rambu Solo di Toraja

Hampir 80 persen lantang ini terbuat dari bambu, material yang banyak bertebaran di Toraja. Hanya beberapa menggunakan papan, serta atap dari daun pohon sagu.

Jumlah lantang yang dibuat diperhitungkan dengan banyaknya tamu yang nantinya akan datang dan tinggal selama prosesi berlangsung. Setiap lantang nantinya akan ditempati masing-masing rumpun keluarga.

"Ini sementara dibangun lantang, Lakkian (untuk menyemayamkan jenazah selama ritual acara berlangsung) dan juga pondok untuk tempat penerimaan tamu nantinya," kata Daniel.

Daniel Pongmasangka membersihkan patung Pong Masangka.

Membangun lantang tidak hanya melibatkan keluarga yang berduka, tapi juga warga kampung sekitarnya.

"Tanggal 2 Maret nanti, prosesi melantang akan dihadiri semua orang warga kampung. Ini menunjukkan gotong royong yang tinggi masih melekat dalam masyarakat Toraja," tuturnya.

Daniel menambahkan, pihak keluarga akan menghadirkan kearifan lokal dan kecintaan pada alam. Diantaranya alas makanya nantinya akan menggunakan daun pisang, bukan kertas nasi yang banyak digunakan saat ini.

Daniel ingin mengembalikan kenangan nenek moyang jaman dulu yang menggunakan daun pisang sebagai alas makan.

"Kalau sekarang kan banyak menggunakan kertas nasi, kita akan menggunakan daun. Memang merepotkan, tapi kami akan berusaha. Sudah ada yang akan mengurus itu," turut pria paruh baya tersebut.

Baca juga: Mengenal Lantang Pangngan, Prosesi Rambu Solo yang Sudah Jarang di Toraja

Sebelum puncak Rambu Solo', jenazah Ne' Linggi' akan diarak dari rumah ke tongkonan Karongian, lalu ke rante untuk dilakukan menanam Batu Simbuang.

Ini semacam napak tilas ke lokaasi yang pernah ditempati almarhuman, lahir dan bertumbuh.

Batu simbuang merupakan sebuah batu besar atau bisa disebut menhir atau batu megalitik.

Batu ini nantinya ditanam sebagai penanda di Rante Pedukuran dekat SMA Negeri 3 Toraja Utara.

Keberadaan Batu Simbuang merupakan suatu bagian simbol yang sangat penting dalam suatu
proses daur ulang manusia yang diyakini Suku Toraja.

Umumnya, Batu Simbuang berbentuk persegi panjang atau bentuk oval. Bentuk tersebut ada yang diperoleh secara alam, namun kebanyakan dipahat sampai menjadi bentuk yang diinginkan.

Dalam kehidupan masyarakat Toraja, Batu Simbuang merupakan simbol status sosial yang menjelaskan kelas bangsawan dari keluarga yang mendirikan dan memiliki batu tersebut.

Batu simbuang menunjukkan bahwa seseorang dari kalangan bangsawan bulaan baru saja melakukan sebuah upacara Rambu Solo’ dengan ukuran Sapu Randanan.

Setelah itu, jenazah dikembalikan ke lokasi ritual Rambu Solo' dan ditempatkan di Lakkian. Sesuai tradisi, jalan saat keluar tidak boleh sama dengan jalan saat kembali, jadi rombongan akan melewati jalan lain saat membawa kembali jenazah untuk ditempatkan di Lakkian.

Setelah itu, masuklah prosesi Rambu Solo'.

Rambu Solo adalah upacara pemakaman adat Toraja, Sulawesi Selatan, yang telah dilakukan secara turun temurun sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada orang yang telah meninggal.

Upacara Rambu Solo memakan biaya yang tidak sedikit. Karena, upacara ini membutuhkan penyembelihan kerbau dan atau babi yang jumlahnya tidak sedikit dan prosesinya berlangsung beberapa hari.

Selain pemberian babi atau kerbau dari tamu kepada keluarga yang ditinggalkan sebagai wujud ikatan kekeluargaan. Pihak keluarga atau anak dari yang meninggal pun wajib menyembelih hewan kuban.

Banyaknya kerbau yang dipotong juga menandakan tingkat strata dari penyelenggara acara ini. Keluarga Pong Masangka ini termasuk dalam bangsawan tinggi (Tana' Bulaan), sehingga menyembelih kerbau sesuai ukuran Sapu Randanan.

Nantinya, jenazah Ne' Linggi' akan disemayamkan di Patane keluarga, sama dengan jenazah Pong Masangka dan juga ibunya serta sanak keluarga yang lain.