Ia mengaku mendapat upah sekitar Rp50 ribu sekali jalan.
"Ketika Devid lulus, kami sudah bilang tunda dulu sekolahnya, setelah tamat (SMK), cari dulu pekerjaan. Nanti hasilnya simpan untuk biaya sekolah kamu," ujar Hamid.
Tapi, lanjut Hamid, kemauan anaknya yang begitu keras untuk melanjutkan pendidikan, ia tetap bersikeras untuk mencegah hal tersebut.
"Kami sebagai orang tuanya tidak mampu, apalagi berbicara tentang kuliah," lanjut Hamid.
Meski demikian, ia mengaku sudah berpikir bagaimanapun caranya, tetap harus berusaha.
"Pertama kali itu berusaha untuk masuk (universitas) dulu, jadi saat itu kami berusaha membayar yang pertama itu," ujarnya lagi.
Saat ditanya mengenai awal pembayaran, Hamid mengaku harus menyetorkan uang senilai Rp3 juta.
"Susah (mengumpulkannya). Itu tidak sepenuhnya (dari kami), sebagian kami pinjam dari teman-teman. Sampai sekarang juga belum lunas," lanjut Hamid.
Mengenai kendala yang dihadapinya, Devid mengaku sulit.
Meski demikian, ia mengaku teman-temannya sering memberi dukungan.
"Karena, waktu mau masuk itu banyak sekali kendala. Soal administrasi waktu ikut Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), karena uang pendaftaran juga hanya pinjam, sampai sekarang Devid hanya mencicil, karena belum bisa dikembalikan sepenuhnya," tutur Devid sambil menahan tangis.
Ia melanjutkan, dulu saat pendaftaran, ia harus membayar Rp150 ribu untuk ujian Sosial dan Humaniora (Soshum).
Ia mengaku tetap bersikeras ingin kuliah, karena termotivasi dari kerja keras orang tuanya.
"Saya harus mengangkat derajat orang tua," ujarnya lagi.
Ia kemudian menemui salah satu temannya, Zaid, untuk meminta ijin bertemu dengan orang tua temannya itu.