Widji Thukul
Widji Thukul, Sang Penyair dan Aktivis yang Hilang
Pria dengan nama lengkap Widji Thukul Wijaya ini kerap menulis puisi tentang protes.
Penulis: Redaksi | Editor: Donny Yosua
TRIBUNTORAJA.COM - Tak hanya sebagai aktivis, nama Widji Thukul selama ini dikenal sebagai seorang penulis puisi perjuangan.
Pria dengan nama lengkap Widji Thukul Wijaya ini kerap menulis puisi tentang protes.
Widji Thukul bahkan menjadi simbol protes itu sendiri.
Hal itu menyebabkan puisinya gampang melebur dalam setiap momen pergolakan dan berbagai aksi protes.
"Hanya ada satu kata: Lawan!"
Demikian tertuang pada bait terakhir puisi berjudul Peringatan karya Widji Thukul.
Dalam Seri Buku Tempo, Prahara Orde Baru Wiji Thukul yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, dijelaskan bahwa sebenarnya kata 'lawan' tersebut tak murni ide Widji Thukul.
Ia terpengaruh sebuah puisi karangan Pardi, temannya di teater Jagat yang juga seorang tukang kebun.
Puisi Pardi itu berjudul Sumpah Bambu Runcing.
Pada sajak Pardi, kalimat 'Hanya ada satu kata: lawan' yang merupakan sajak mengenai perjuangan melawan Belanda, diambil Thukul untuk perjuangan buruh.
Widji Thukul sebenarmnya memiliki nama asli Widji Widodo.
Widodo diubah menjadi Thukul oleh Cempe Lawu Warta, anggota Bengkel Teater yang diasuh oleh penyair WS Rendra.
Thukul berarti biji tumbuh.
Widji Thukul bersama WS Rendra meraih penghargaan Werheim Encourage Award dari Wertheim Stichting Belanda pada tahun 1991.
Setamat SMP, Thukul melanjutkan pendidikan di Jurusan Tari Sekolah Karawitan Indonesia tapi tidak tamat, hanya sampai kelas II.
Ia berhenti sekolah untuk bekerja membiayai studi adik-adiknya.
Widji Thukul bekerja pertama kali sebagai loper koran.
Ia kemudian menjadi calo tiket, dan tukang pelitur furnitur di perusahaan mebel.
Ia juga sempat mengamen puisi ke kampung dan kota-kota.
Usai menikah dengan Diah Sujirah alias Sipon pada Oktober 1988, Thukul hidup membantu istrinya dengan usaha sablon.
Ia kemudian menobatkan diri sebagai aktivis pembela buruh.
Nama Widji Thukul ada di barisan demonstran kedungombo, Sritex, dan sejumlah demonstrasi besar di Solo.
Ia kemudian bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Peristiwa Kudatuli
Hilangnya Widji Thukul tak lepas dari peristiwa 27 Juli 1996.
Peristiwa ini dikenal sebagai Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli, alias Kudatuli.
Saat itu, PRD di bawah pimpinan Budiman Sudjatmiko dituding oleh pemerintah melalui Kepala Staf Bidang Sosial dan Politik ABRI, Letnan Jenderal Syarwan Hamid, sebagai dalang di balik peristiwa itu.
Aktivis PRD diburu, termasuk Widji Thukul.
Kala itu Widji Thukul berada di Solo sebagai Ketua Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat atau Jaker yang merupakan badan yang merapat ke PRD.
Widji Thukul kabur usai beberapa anggota kepolisian mendatangi rumahnya.
Dalam pelarian, Widji Thukul harus mencuri kesempatan untuk bertemu Sipon.
Mereka berdua sering bertemu di Pasar Klewer.
Saat bertemu, mereka membuat janji untuk pertemuan selanjutnya.
Saat bertemu, Widji Thukul menceritakan beberapa daerah yang sering dikunjunginya dan beberapa kali meminta uang kepada sang istri untuk membiayai hidup pelarian.
Selama pelarian, ia memiliki beberapa nama samaran seperti Paulus, Aloysius, dan Martinus Martin.
Widji Thukul sering memakai topi agar sulit dikenali.
Ia juga kerap mengenakan jaket saat keluar rumah untuk menyamarkan badannya yang kerempeng.

Baca juga: Istri Penyair Widji Thukul Tutup Usia
Hilang
Tahun 1998, Widji Thukul menghilang.
Hilangnya Widji Thukul secara resmi diumumkan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada 2000.
Kontras menyatakan hilangnya Widji Thukul sekitar Maret 1998 karena diduga berkaitan dengan aktivitas politik yang ia lakukan.
Saat itu bertepatan dengan peningkatan operasi represif rezim Orde Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan Orde Baru.
Sejak dinyatakan hilang hingga saat ini, keberadaan Widji Thukul masih misteri apakah masih hidup atau sudah tiada. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenang Wiji Thukul, Aktivis yang Hilang Usai Peristiwa Kudatuli 1996"
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.