Pele

Selamat Jalan Sang Raja, Bermainlah Bersama Maradona di Langit

Sejumlah surat kabar lokal di Sao Paolo, menuliskan bahwa ‘Pele’, adalah calon bintang dan berpotensi jadi pemain terbesar dalam sejarah sepak bola.

Editor: Apriani Landa
IST
Pele merupakan satu-satunya pemain sepak bola yang pernah pernah memenangkan tiga Piala Dunia. Ia meninggal dunia pada Kamis (29/12/2022) setelah berjuang melawan kanker. 

Bile meninggal dalam kemiskinan tahun 1997, dengan pemakaman yang hanya dihadiri oleh beberapa orang. Istrinya sudah meninggal lebih dulu dan mereka tidak memiliki anak.

Seorang kawannya, Teresia Borba, membacakan pesan terakhir Bile yang hanya berupa kalimat singkat: ‘Bukan hanya saya yang salah, waktu itu di lapangan kami sebelas orang’.

‘Bile’ menjadi ‘Pele’ melulu karena logat Dico ketika meneriakkannya membuat huruf ‘B’ dan ‘I’ jadi terdengar mirip ‘P’ dan ‘E’.

Ia awalnya tidak suka. Namun lantaran terus-menerus dilontarkan, lama-kelamaan ia terbiasa. Bahkan mulai menikmatinya.

Dalam ‘Pele: The Autobiography’, Pele menyebut alias ini seperti membawa keberuntungan baginya: “Ketika usia saya 15, saya sudah berada di Santos”.

Pencapaian yang sungguh gemilang di usia yang masih kelewat belia. Namun justru di sini masalah bermula. Kegagalan di Piala Dunia 1950 dan 1954, membuat sebagian besar petinggi otoritas sepak bola Brasil menginginkan perubahan gaya bermain.

Gaya sepak bola Brasil mereka nilai sudah usang, tertinggal dari gaya yang dikembangkan negara-negara Eropa. Sepak bola harus presisi. Sepakbola harus keras dan cepat. Pemain tidak perlu berlama-lama dengan bola. Otoritas memerintahkan kepada klub-klub untuk mengadopsi gaya ini, tak terkecuali Santos.

Sebagai pemain muda Pele tentu saja mencoba mengikuti, dan ia gagal. Filosofi Ginga yang ditanamkan Dondinho telah berurat berakar dalam dirinya.

Sepak bola “presisi” gaya Eropa menggerus kegembiraan, dan Pele, tidak bisa bermain bola dalam keadaan tidak gembira. Kehebatannya tidak keluar.

Situasi serupa dialaminya saat dipanggil memperkuat Tim Nasional Brasil di Piala Dunia Swedia 1958. Brasil mempekerjakan Vicente Ítalo Feola sebagai pelatih kepala.

Feola lahir dan besar di Sao Paolo dan menjadi pelatih Sao Paolo untuk setidaknya enam periode (tidak beruntun) dari tahun 1937-1958.

Feola bukan asli Brasil. Ibu dan bapaknya memiliki darah Italia, dan sejak otoritas sepak bola Brasil mengkampanyekan gerakan menuju “sepak bola modern”, Feola termasuk yang paling getol memberi dukungan. Sao Paolo di tangannya, bermain seperti klub-klub Eropa.

Pele terpinggirkan di skuat Brasil sampai kemudian gelombang cedera datang menghantam. Jose Altafini atawa Mazzola, striker kesayangan Feola, mengalami cedera.

Mau tak mau, pada laga perempat final melawan Wales, Feola menurunkan Pele. Ia berpesan agar Pele tetap bermain dengan gaya Eropa.

“Saya mengangguk, saya tidak melawan pelatih,” kata Pele dalam otobiografinya. “Tapi dalam hati saya, dalam kepala saya, yang terngiang justru kata-kata ayah saya.”

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved