Pele
Selamat Jalan Sang Raja, Bermainlah Bersama Maradona di Langit
Sejumlah surat kabar lokal di Sao Paolo, menuliskan bahwa ‘Pele’, adalah calon bintang dan berpotensi jadi pemain terbesar dalam sejarah sepak bola.
In Memoriam Pele (1940-2022)
TRIBUNTORAJA.COM - Sepak bola benar adalah taktik, tapi sepak bola juga kegembiraan. Sepak bola harus dimainkan dengan gembira, karena hanya dengan begitu keindahannya keluar. Keindahan, sekaligus ketajaman. Ginga!
Kalimat ini dari Joao Ramos do Nascimento, alias Dondinho, seorang pesepak bola gagal. Ia sempat merumput untuk dua klub besar Brasil, Atletico Mineiro dan Fluminense, tapi tidak banyak memberi arti hingga kemudian dilego ke Bauru Atletico Clube (AC).
Ia bermain selama enam musim (1946-1952) hingga terpaksa menepi lantaran cedera lutut parah.
Setelah tak lagi jadi pesepakbola, perekonomian keluarga Dondinho terjun bebas. Tanpa bekal pendidikan yang memadai, tanpa kemampuan dan ketrampilan di luar menyepak bola, ia pun hanya bisa mendapatkan pekerjaan sebagai pembersih kamar kecil di Tres Coracones, kota kecil berjarak hampir 250 km dari Rio De Janeiro.
Lantaran penghasilan yang sangat kecil, istrinya, Celeste Arantes, juga harus ikut banting tulang membantu Dondinho menghidupi keluarga mereka, anak-anak mereka: Edson Arantes do Nascimento, Maria Lucia Nascimento, dan Jair Arantes do Nascimento.
Jungkir balik karier Dondinho yang berakhir mengenaskan, membuat Celeste Arantes tidak menginginkan anak-anak lelakinya menjadi pesepakbola. Celeste bermimpi mereka menjadi pegawai pemerintah, atau insinyur, atau dokter.
Tatkala anak pertama mereka lahir pada 23 Oktober 1940, Celeste memberinya nama ‘Edson’, dari ‘Edison’, nama belakang ilmuwan dan penemu lampu pijar berkebangsaan Amerika Serikat, Thomas Alva Edison. Pertengahan tahun itu, listrik mulai mengalir di Brasil.
Namun siapa bisa membelokkan garis takdir? Seberapa kuat upaya Celeste Arantes menjauhkan Edson dari sepak bola tetap saja gagal. Makin dijauhkan, Edson - yang dipanggil Dico, justru makin dekat ke lapangan hijau.
Dari jalanan, dari lapangan-lapangan tanah merah yang keras dan berdebu, ia merapat ke Bauru AC, klub terakhir ayahnya.
Tak berselang lama, dalam usia 15, ia telah di Santos, klub paling elite di Brasil saat itu. Perekrutan yang dilakukan Santos meletupkan kegemparan besar.
Apalagi, setelah sejumlah surat kabar lokal di Sao Paolo, menuliskan bahwa ‘Pele’, adalah calon bintang dan berpotensi jadi pemain terbesar dalam sejarah sepak bola.
Dico saat itu memang sudah dipanggil Pele, satu alias yang sebenarnya berangkat dari ejekan.
Dalam kolomnya di Guardian, tahun 1996, Pele menulis bahwa ‘Pele’ dilontarkan kawan-kawannya lantaran ia kerap meneriakkan kalimat ‘Ayo, Bile!’, ‘Penyelamatan yang bagus, Bile!’, tiap kali iseng mengisi posisi kiper dalam permainan ecek-ecek di sekolah.
Bile adalah Moacir Barbosa Nascimento, kiper tersial sepanjang masa. Gara-gara kesalahan yang dilakukannya di menit-menit akhir pertandingan final Piala Dunia 1950 (versus Uruguay), rakyat Brasil mengingat kejadian itu turun-temurun sebagai ‘Tragedi Maracana’.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/toraja/foto/bank/originals/pele-30122022.jpg)