TRIBUNTORAJA.COM, RANTEPAO - Tim hukum Pasangan calon (Paslon) No urut 2, Frederik Victor Palimbong - Andrew Branch Silambi (Dedy-Andrew), menanggapi gugatan hasil pilkada Toraja Utara oleh Paslon Yohanis Bassang-Marthen Rante Tondok (Ombas-Marthen).
Diberitakan sebelumnya KPU Toraja Utara menetapkan paslon Dedy Andrew memenangkan Pilkada Toraja Utara 2024.
Dedy-Andrew meraih 68.422 suara sedangkan Paslon no urut 1, Yohanis Bassang - Marthen Rante Tondok, sebanyak 62.647 suara.
Tidak terima dengan hasil tersebut, Tim Ombas-Marthen menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan Ombas-Marthen sudah teregister di MK RI pada tanggal 5 Desember 2024, akta pengajuan permohonan elektronik dengan Nomor 35/PAN.MK/e-AP3/12/2024.
Tim Ombas-Marthen dikawal 8 pengacara. Mereka adalah Anwar SH, Damang SH MH, Eko Saputra SH, Mohd Hazrul Bin Sirajuddin SH, Hendrik Tulak SH, Hasruddin Pagajang SH, Andi Fairuz Fakhriyah R Makkuaseng SH, dan Munirahayu SH.
Mereka menilai banyaknya kecurangan yang dilakukan Paslon No Urut 2.
Salah satunya menggunakan Program Indonesia Pintar (PIP) sebagai bahan kampanye, sekaligus menekan masyarakat untuk mencoblos pasangan no urut 2.
Menyikapi hal tersebut, Juru bicara (Jubir) Tim Hukum Paslon Dedy - Andrew, Mangatta Toding Allo, enggan berkomentar soal tudingan tim Ombas-Marthen.
Justru, ia menyarankan kepada tim Ombas-Marthen agar memperhatikan aturan dengan seksama.
"Ini bukannya kami mau menekan atau mengatur hak dari Paslon no urut 1, namun sebaiknya tim kuasa hukum dan Paslon tersebut melihat apakah tuntutan mereka sesuai aturan hukum atau seperti apa," ucapnya kepada Tribun Toraja, Senin (9/12/2024) siang.
Pendiri Badranaya Partnership menambahkan, sesuai aturan dari MK, untuk mengugat harus memenuhi syarat ambang batas. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 10 tahun 2016 tentang Pilkada.
“Dalam UU Pilkada disebutkan bahwa gugatan hanya dapat diajukan jika selisih suara tidak lebih dari 2 persen (2.621) dari total 131.069 suara sah. Dalam Pilkada ini, pasangan Dedy-Andrew unggul dengan selisih suara mencapai 5.775 atau sekitar 4,3 % . Selisih ini jelas berada di luar batas ambang yang diperbolehkan untuk menggugat ke MK," tuturnya.
Mengenai dugaan pelanggaran Terstruktur Sistematis dan Masif (TSM) yang dituduhkan ada tim paslon nomor urut 2, alumni Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, ini meminta agar tim kuasa hukum paslon no urut 1 menjelaskan duduk perkara mengenai dugaan tersebut kepada Ombas-Marthen.
“Sesuai Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2020, pelanggaran TSM adalah ranah Bawaslu. Sedangkan Mahkamah Konstitusi (MK) hanya memiliki kewenangan mengadili sengketa hasil pemilu/pilkada, sesuai Pasal 24C UUD 1945," jelasnya.
Alumnus SMAK St Albertus, Malang, ini menambahkan bahwa pembuktian pelanggaran TSM memerlukan proses yang kompleks dan melibatkan pembuktian pelanggaran di lebih dari 50 persen wilayah pemilihan.
"Ini adalah standar yang sangat ketat dan tidak bisa dilewati begitu saja. Prosedur di Bawaslu harus ditempuh terlebih dahulu sebelum laporan diajukan ke MK, meski Putusan MK No. 85/PUU-XX/2022 memberikan interpretasi baru terkait kewenangan MK dalam sengketa pemilu, prosedur di Bawaslu tetap menjadi tahap wajib yang tidak bisa diabaikan," katanya.
"Jika prosedur ini dilangkahi, laporan berpotensi ditolak oleh MK, juga tentang dugaan PIP yang dijadikan kampanye juga harus dibuktikan," tutupnya.
(*)