Pilpres 2024

Prabowo-Gibran Menang di Sulsel karena Pj Gubernur Bahtiar Baharuddin Tidak Netral

Editor: Imam Wahyudi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pj Gubernur Sulsel, Bahtiar Baharuddin lakukan kunjungan kerja di Kabupaten Tana Toraja, Selasa (7/11/2023).

TRIBUNTORAJA.COM - Penjabat (Pj) Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), Bahtiar Baharuddin, tidak netral pada pelaksanaan Pilpres 2024.

Dia dinilai membantu memenangkan pasangan capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Sulsel.

Hal ini dikatakan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Saldi Isra, dalam sidang sengketa Pilpres 2024.

Selain Bahtiar, ada lima Pj gubernur lain yang tidak netral dalam proses pilpres menurut Saldi Isra.

Yaitu Pj Gubernur Sumut Hassanudin, Pj Gubernur Jakarta Heru Budi Hartono, Pj Gubernur Jawa Tengah Nana Sudjana, Pj Gubernur Kalbar Harisson, dan Pj Gubernur Banten Al Muktabar.

Menurut Saldi Isra, keenam Pj gubernur ini membantu memenangkan Prabowo-Gibran dengan beberapa kecurangan.

Seperti pelanggaran netralitas yang mencakup menggerakkan aparatur sipil negara (ASN).

Mengalokasikan dana desa sebagai dana kampanye dan ajakan terbuka kepada pemilih untuk pemilih pasangan nomor 2. 

Selain itu, dalam pembagian bantuan sosial (bansos), Pj gubernur tersebut menggunakan kantong yang identik dengan calon tertentu.

Juga menyelenggarakan kegiatan massal yang menunjukkan keberpihakan terhadap calon tertentu.

Penyelenggaraan kegiatan massal juga disoroti, dimana baju dan kostum yang digunakan menunjukkan keberpihakan terhadap calon tertentu.

Hakim Saldi Isra menegaskan bahwa temuannya didasarkan pada keterangan dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) serta fakta yang terungkap dalam persidangan, Senin (22/4/2024) lalu.

"Saya menemukan bahwa terdapat masalah netralitas Pj kepala daerah dan pengerahan kepala desa yang terjadi, antara lain, di Sumatera Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sualawesi Selatan," kata Saldi Isra.

Selanjutnya, Hakim Saldi Isra juga menyebutkan bahwa ajakan memilih pasangan calon di media sosial dan gedung milik pemerintah merupakan pelanggaran tambahan terhadap netralitas. 

Praktik ini menunjukkan penggunaan sumber daya dan fasilitas publik untuk kepentingan politik tertentu, yang dapat merusak integritas proses demokrasi.

Halaman
12