Polusi Udara

Imbas Polusi Udara, Klaim BPJS Kesehatan Tembus Rp 10 T, Kanker Paru Jadi Penyakit Berbiaya Besar

Editor: Muh. Irham
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Polusi udara terlihat di langit Jakarta, Senin (3/9/2018).

TRIBUNTORAJA.COM - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengingatkan risiko naiknya klaim BPJS Kesehatan gara-gara polusi udara. Hal ini diungkapkan terkait meningkatnya pasien Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA.

Setidaknya ada lima penyakit saluran pernapasan atau respiratori yang muncul karena polusi udara, diantaranya TBC, kanker paru, asma dan pneumonia.

"Mulai paling berat itu kanker paru, TBC, ada yang PPOK, asma, pneumonia, itu lima jenis penyakit yang disebabkan oleh pernapasan," ujar Menkes saat acara 'ASEAN Finance and Health Ministerial Meeting' di Jakarta Kamis(24/8).

Kasus kejadian dari lima penyakit ini lanjut Menkes terus meningkat, bahkan ketika dibandingkan dengan masa pandemi Covid-19.

"Kita sendiri khususnya Jakarta sebelum Covid-19 itu 50 ribuan yang pernah, sekarang sudah naik 200 ribuan. Nah itu ada akibatnya dari polusi udara ini," kata Menkes.

Lebih lanjut Menkes mengungkapkan jika lima penyakit pernafasan atau respiratory disease memiliki total klaim BPJS Kesehatan yang cukup besar, yakni Rp 10 triliun. "Pasti tahun ini kalau lebih banyak yang kena, itu akan naik (klaim)," kata Menkes Budi.

Kendati demikian Eks Dirut Bank Mandiri ini tetap optimis polusi udara di kota Jakarta dan sekitarnya dapat dikendalikan. Hal ini dikarenakan ada negara lain yang bisa menyelesaikan permasalahan serupa.

"Saya sampaikan yang masih memberikan optimisme di kita adalah hal seperti ini, polusi udara sudah terjadi di negara lain, dan bisa dikendalikan,"ujarnya.

Menkes pun menyebut China menjadi salah satu negara yang berhasil mengendalikan polusi udara. Yakni saat perhelatan Olimpiade Musim Dingin di Beijing pada 2022.

"Yang paling baik dan cepat saya lihat di cina, waktu ketika ada Beijing Olimpiade, melakukan beberapa langkah untuk memastikan langitnya biru," kata Menkes.

Dan hal ini, katanya terbukti turun dengan cepat. Lebih lanjut Budi pun menekankan pentingnya edukasi dan sosialisasi terkait penanganan dan pencegahan polusi udara.

"Yang bikin kita optimis, teman-teman membantu, mengedukasi publik kalau ini (polusi udara) bisa ditangani. Iya itu harusnya bisa ditangani," tutupnya.

Kanker Paru

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular(P2PTM) Kementerian Kesehatan RI, Dr Eva Susanti mengatakan kanker paru jadi beban biaya kesehatan tertinggi nomor dua.

"Pada 2021 pembiayaan kesehatan yang diakibatkan oleh kanker menduduki peirngkat kedua terbesar. Memakan biaya Rp 3,5 triliun,"ujarnya.

Hal ini dikarenakan sebagian besar kanker paru ditemukan pada stadium lanjut. Sehingga angka kesembuhan rendah dan biaya yang pun menjadi tinggi. Oleh karena itu, menurutnya upaya penanggulangan skrining dan deteksi dini perlu dilakukan agar kasus sedini mungkin dapat ditemukan. Sehingga angka kesembuhan dan keberhasilan pengobatan meningkat.Dan nantinya, beban biaya pengobatan berkurang.

Kemenkes, kata dr Eva saat ini sudah menerapkan sistim tranformasi kesehatan.

"Saat ini skrining kanker paru telah masuk ke dalam kebutuhan dasar kesehatan yang menjadi salah satu manfaat dari jaminan kesehatan nasional," paparnya.

Skrinning akan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan primer (FKTP).Diharapkan dokter di FKTP dapat menjaring masayarakat yang berisiko terkena kanker paru menggunakan tool yang telah disepakati di dalam konsensus.

"Selanjutnya dirujuk ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan," tambah dr Eva.

Lebih lanjut dr Eva mengatakan bahwa kanker paru penyebab kematian terbanyak akibat kanker dari semua jenis kanker lainnya di dunia. Data Global Burden of Cancer Study (Globocan) estimasikan terdapat 1,8 juta kematian akibat kanker paru.

Begitu pula dengan Indonesia, kanker paru merupakan kanker dengan angka kematian tertinggi.

"Berdasarkan data, diestimasikan sekitar 30 ribu kematian per tahun akibat kanker paru. Kanker paru juga menduduki peringkat ketiga jumlah kasus baru terbanyak setelah kanker payudara dan leher kanker rahim yaitu 35 ribu kasus," tutupnya.

Executive Director Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO),Prof. Dr. dr. Elisna Syahruddin, Sp.P(K), Ph.D mengungkap kanker paru-paru bukan penyakit yang tiba-tiba muncul. Butuh waktu panjang atau paling cepat 10 tahun untuk paru-paru sehat menjadi kanker paru-paru.

Lebih lanjut ada dua faktor risiko yang penyebab munculnya kanker paru-paru. "Bahwa ada dapat dikontrol dan tidak," ujar dr Elisna.

Faktor yang tidak dapat diubah misalnya umur.Kanker termasuk penyakit umur, semakin bertambah umur, maka risiko meningkat. Kedua, jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan punya potensi kanker yang berbeda-beda. Dan kanker paru lebih banyak laki-laki karena dipengaruhi oleh gaya hidup.

Ketiga, riwayat kanker dalam keluarga. Kanker bukan diturunkan. Namun jika seseorang memiliki keluarga dengan riwayat kanker, maka berisiko lebih tinggi mengalami hal serupa.

Faktor kedua yang bisa dikontrol. Dr Elisna pun menjelaskan diantaranya paparan asap rokok yang mengandung karsinogen. Kemudian faktor pekerjaan. Orang yang bekerja di lingkungan kerja yang mengandung paparan zat karsinogen.

"Misal kerja pabrik semen, tambang, kerja di galangan kapal, tukang, dan pembangunan," tutupnya.

Sementara itu Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Onkologi, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr. Sita Laksmi Andarini menyebut penggunaan asbes sebagai atap rumah kini tidak lagi dianjurkan karena berisiko memicu munculnya penyakit kanker paru.

"Asbes merupakan faktor karsinogen yang tinggi selain rokok. Selain asbes, bagian dari silika," ujarnya.

Menurut dr Sita, paparan ini akan menimbulkan secara langsung radang. Selain itu, proses karsinogenis atau pembentukan kanker yang lebih dominan.

"Asbes yang di rumah-rumah, itu merupakan faktor risiko tinggi terjadinya kanker paru," kata dr Sita.

Saat ini di luar negeri bahan bangunan menggunakan asbes itu sudah dilarang.Di Indonesia saat ini belum ada larangan, namun menurut dr Sita harusnya memang tidak diperbolehkan.

Bahkan di luar negeri, saat menggunakan asbes orang perlu memakai masker N95. "Karena tidak sembarangan, dan itu untuk renovasinya itu khusus. Jadi memang merupakan faktor risiko terjadinya kanker paru," jelas dr Sita.(*)