Tradisi Mangriu' Batu Simbuang di Acara Rambu Solo', Penanda Status Bangsawan Toraja
Batu Simbuang merupakan simbol status sosial yang menjelaskan kelas bangsawan dari keluarga yang mendirikan dan memiliki batu tersebut.
Penulis: Redaksi | Editor: Apriani Landa
TRIBUNTORAJA.COM - Acara adat Rambu Solo' di Toraja sudah terkenal hingga mancanegara. Prosesi yang unik serta menghabiskan anggaran yang tidak sedikit menjadi magis untuk diulik.
Rambu Solo' merupakan ritual yang berhubungan dengan kematian. Perayaan kehidupan menuju alam lain, makanya sering disebut "pesta" padahal acara kedukaan.
Masyarakat Toraja memang tidak bisa dipisahkan dengan dua ritual yaitu syukuran atau Rambu Tuka' dan kematian atau Rambu Solo'. Ini merupakan peristiwa daur hidup masyarakat Toraja.
Dalam Rambu Solo' terdapat beberapa rangkaian kegiatan, tergantung strata atau status dari keluarga penyelenggara Rambu Solo'.
Salah satu kegiatan atau tradisi yang dilakukan dalam pelaksanaan ritual Rambu Solo' adalah Mangriu’ Batu Simbuang atau Mangriu’ Batu. Artinya Menarik Batu Simbuang.
Seperti apa itu tradisi Mangriu’ Batu Simbuang? Simak penjelasannya berikut ini dikutip dari etnis.id.
Batu Simbuang
Batu simbuang merupakan sebuah batu besar atau bisa disebut menhir atau batu megalitik. Batu ini nantinya ditanam sebagai penanda.
Keberadaan Batu Simbuang merupakan suatu bagian simbol yang sangat penting dalam suatu proses daur ulang manusia yang diyakini Suku Toraja.
Umumnya, Batu Simbuang berbentuk persegi panjang atau bentuk oval. Bentuk tersebut ada yang diperoleh secara alam, namun kebanyakan dipahat sampai menjadi bentuk yang diinginkan.
Dalam kehidupan masyarakat Toraja, Batu Simbuang merupakan simbol status sosial yang menjelaskan kelas bangsawan dari keluarga yang mendirikan dan memiliki batu tersebut.
Batu simbuang menunjukkan bahwa seseorang dari kalangan bangsawan/to sugi’/to kapua/ tana’ bulaan baru saja melakukan sebuah upacara Rambu Solo’ dengan sangat meriah.
Batu Simbuang merupakan sebuah simbol (simbol factum), tanda peristiwa atau kejadian yang pernah terjadi pada suatu waktu, di mana seseorang telah melaksanakan suatu perayaan kehidupan, simbuang juga menjadi simbol post factum, yaitu suatu nilai sejarah di kemudian hari yang senantiasa hadir, dikenang atau memiliki dimensi anamnesis begitulah ungkapan dari Nattye dalam tulisannya.
Mangriu' Batu Simbuang
Dalam Rambu Solo’ ada ritual Mangriu' Batu Simbuang, di mana batu simbuang akan diikat dan ditarik (diriu’) oleh banyak orang (gotong-royong) yang dikomando oleh pemangku adat.
Untuk menarik batu, terlebi dahulu diikat dengan ijuk dari pohon nira yang dibantu dengan batang pohon bitti. Tujuannya agar memudahkan warga menarik batu.
Kemudian secara beramai-ramai warga menarik batu dengan menggunakan tali tambang yang dikomandoi oleh seorang tokoh adat atau orang yang dituakan.
Namun ada teriakan khas warga Toraja yang sedikit menggelitik telinga saat melakukan proses tarik batu. Yaitu berbicara kotor atau dalam bahasa toraja Ma' Kadoro.
Karena menurut mitologi setempat, dengan meniriakan hal tersebut, batu akan terasa ringan dan dengan mudah bergeser.
Maka, jika dilakukan ritual tarik batu, perempuan tidak diperbolehkan berada dekat dari lokasi ritual Ma' tarik Batu atau Batu Simbuang, lantaran para pria yang ikut tarik batu akan terus berteriak (Ma' Kadoro) hingga batu sampai dilokasi yang diinginkan.
Batu yang telah diikat dengan tali ditarik oleh banyak orang disebut sebagai siarak pu’pu’, di mana semua orang akan bersama-sama menarik batu itu dan mendirikannya.
Batu simbuang diletakkan pada suatu tempat yang disebut rante pada suatu lapangan/halaman luas atau suatu tanah datar di mana batu yang ditarik tersebut akan ditanam.
Setiap keluarga bangsawan memiliki rante-nya masing-masing, sehingga rante sering disebut sebagai perkampungan kecil.
Rante menjadi suatu bagian dari tiga komponen penting dalam pemukiman tradisional Toraja, yaitu rante (tempat upacara), liang (kuburan), dan juga tongkonan (rumah adat).
Batu simbuang/menhir tidak sekedar ditanam/didirikan begitu saja. Setiap batu yang didirikan atau ditanam akan diberikan nama sesuai dengan orang yang diupacarakan (meninggal).
Batu simbuang diyakini telah menjadi refleksi dari orang yang meninggal. Oleh sebab itu, menurut kepercayaan tradisional Toraja, seseorang yang meninggal bila belum diupacarakan pemakamamnya, maka mendiang akan tetap dianggap masih hidup.
Sekalipun dalam kepercayaan tradisional Toraja dikenal istilah yang menyatakan bahwa seorang yang telah putus nyawanya/ka’tumo sumanga’na namun tetap dipercaya bahwa mendiang masih hidup, dan dipercaya bahwa sang mendiang akan menyatu dengan batu simbuang yang didirikan baginya.
Batu simbuang yang ada akan didirikan atau ditanam berdampingan dengan simbuang induk, simbuang kalosi, simbuang lambiri, dan simbuang kamiri.
Dalam adat, simbuang induk akan digunakan untuk menambatkan tali (unsankin) tedong/kerbau balean, simbuang kalosi untuk menambatkan tali kerbau bonga, simbuang lambiri untuk menambatkan tali kerbau pudu’, dan simbuang kamiri untuk menambatkan tali kerbau sambao’.
Semuanya ditanam dan akan menjadi simbuang dan dipercayai bahwa didalamnya tidak sekedar didirikan namun mengandung makna yang dalam berupa doa dan harapan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Batu simbuang akan menjadi simbol ataupun tanda yang akan selalu dikenang oleh anak cucu, simbol yang akan melekat dalam hati, yang memberikan pemaknaan dan penghayatan bahwa orang tua dari rumpun keluarga yang telah meninggal akan tetap bersama dengan keluarga.
Saat batu tiba di rante dan telah berdiri kokoh maka akan dilakukan penyiraman dengan air biasa dan akan didoakan dengan harapan bahwa semua rapu tallang, anak cucu tetap dalam keadaan yang aman (masakke-sakke), damai, dan baik-baik saja.
Suku Toraja memang merupakan salah salah satu suku di Indonesia yang memiliki kekayaan tradisi sebagai bagian dari kearifan lokalnya.
Suku Toraja menetap di Toraja, daerah pegunungan bagian utara Provinsi Sulawesi Selatan. Suku Toraja juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Wilayah Toraja dikenal sebagai "Tondok Lapongan Bulan Tana Matari’allo" (negeri yang bulat seperti bulan dan matahari).
(*)
Agenda Acara Adat Rambu Solo' di Toraja Utara Sulsel, Mulai 9 September 2025 di Tikala |
![]() |
---|
Pemkab Toraja Utara Wajibkan Pemeriksaan Kesehatan Hewan di Acara Adat |
![]() |
---|
Jadwal Prosesi Adat Rambu Solo' di Toraja Utara Mulai Pekan Depan Bulan Agustus 2025 |
![]() |
---|
Jadwal Rambu Solo' di Toraja Utara Pekan Ini untuk Bulan Agustus 2025 |
![]() |
---|
Jadwal Rambu Solo' di Toraja Utara Untuk Ne' Ulia, 19 Juli-9 Agustus 2025 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.