Komisi Pemilihan Umum

Dosen UI: KPU Tunduk pada DPR

Atas putusan itu, KPU diminta melakukan koreksi atas penetapan 267 daftar calon tetap anggota DPR yang keterwakilannya 30 persen.

Editor: Imam Wahyudi
ist
Kantor KPU RI 

TRIBUNTORAJA.COM - Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mempertanyakan kemandirian Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia.

Menurutnya, anggota KPU yang diberikan kewenangan oleh konstitusi tidak dapat menjalankan tugasnya karena tunduk dengan partai politik yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Titi menjelaskan, tunduknya KPU terhadap parpol di DPR RI terlihat saat pihaknya mencoba melaporkan penyelenggara pemilu ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait keterwakilan perempuan 30 persen.

Bawaslu memutuskan KPU telah terbukti melakukan pelanggaran administratif pemilu.

Atas putusan itu, KPU diminta melakukan koreksi atas penetapan 267 daftar calon tetap anggota DPR yang keterwakilannya 30 persen.

“KPU bilang keputusan Bawaslu setelah tiga hari dibacakan harus ditindaklanjuti. Ternyata tindak lanjut dari KPU adalah sudah berkirim surat dan berkonsultasi dengan DPR,” kata Titi dalam Diskusi Publik Puskapol Universitas Indonesia di Gedung Fisip UI, Selasa (5/12/2023).

Titi bertanya dalam hati apakah KPU tidak dapat bekerja sendiri tanpa DPR.

Sedangkan menurut dia, konstitusi memberikan mandat KPU menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara pemilu.

“Masa tindak lanjut putusan Bawaslu yang notabene tanggung jawab administratif KPU harus konsultasi dengan DPR,” ujarnya.

“Termasuk format debat baru, boleh diubah setelah berkoordinasi dengan DPR. Jadi KPU ini penyelenggara pemilu atau KPU bersama DPR sebagai penyelenggara pemilu,” tutur Titi.

Anggota Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini melihat ada fenomena penundukan secara sukarela oleh lembaga penyelenggara pemilu terhadap partai politik yang ada di DPR.

KPU dengan secara sukarela menghibahkan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi.

“Kan konstitusi ngomong pemilu diselenggarakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri tapi ternyata kewenangan yang mandiri itu dengan sengaja direlakan untuk bersama-sama dilakukan dengan partai politik yang ada di DPR,” ungkapnya.

Padahal praktik pemilu di Indonesia selama ini secara prosedur selalu meningkatkan skor Indonesia dalam indeks demokrasi oleh institusi semisal International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA).

Lembaga penyelenggara pemilu dan penyelenggaraannya secara administratif yang menetralisir kemunduran tetapi itu dulu.

Titi berujar saat ini bahkan lembaganya dan prosedurnya juga sudah merah.

“Sekarang pun dalam ancaman yang sangat darurat kalau boleh dibilang. Kenapa bisa begitu? Saya mau kasih ilustrasi. Ini baru pertama kali sepanjang pemilu yang saya ikuti secara intensif sejak 1999, 2004, 2009, 2014, 2019,” ujar Titi.

Titi memandang dari awal pemilu di Indonesia sudah bicara kecurangan dan manipulasi verifikasi partai politik menjadi peserta pemilu.

Belum lagi bicara aktor yang akan kontes yang juga sudah dilekati dengan narasi kecurangan yang melibatkan penyelenggara pemilu.

Hal itu terkonfirmasi walaupun yang disanksi itu aktor lapangan belum aktor intelektualnya.

“Kalau kita lihat tahapan inti pemilu mulai pertama pendaftaran dan verifikasi partai politik. Ini gelanggang baru dibuka buat tarung sudah terkonfirmasi penyelenggara pemilu jadi bagian dari kecurangan. Itu saja alarm bukan lagi merah,” tukasnya.

Semestinya pemilu 2024 secara prosedural akan lebih baik dan stabil karena UU Pemilu tidak diubah ternyata dalam praktiknya tidak demikian.

Kemudian dikatakannya kalau aturan main kurang baik maka penyelenggara pemilunya harus berintegritas dengan inovasi, terobosan dan komitmen.

“Dia bisa melakukan perekayasaan-perekayasaan secara positif untuk menghasilkan aturan yang lebih adaptif. Tetapi kalau mereka tidak punya integritas aturan yang baik sekali sekalipun, tidak punya makna,” lanjut Titi.

Ia menegaskan bahwa itulah tantangan yang harus dihadapi di Pemilu 2024.

“Bagaimana institusi demokrasi yang kita harapkan menjadi benteng dari demokrasi. Setidaknya memastikan prosedurnya berjalan jujur adil dan setara. Bukan justru tunduk pada kekuatan-kekuatan politik,” tegasnya.(Tribun Network/Reynas Abdila)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved