Gereja Toraja
Sejarah Gereja Toraja Pertama di Kota Makassar
Lokasinya Jl Gunung Bawakaraeng No 93, Kelurahan Pisang Utara, Kecamatan Ujung Pandang, Sulawesi Selatan.
Penulis: Freedy Samuel Tuerah | Editor: Apriani Landa
TRIBUNTORAJA.COM, MAKASSAR - Di Makassar, Gereja Toraja bisa dibilang telah menggurita. Jemaatnya telah tersebar di hampir semua sudut kota Makassar.
Tapi, tahukah Anda Gereja Toraja pertama di Makassar? Ini kisahnya.
Gereja Toraja pertama di Makassar adalah Jemaat Bawakaraeng. Lokasinya Jl Gunung Bawakaraeng No 93, Kelurahan Pisang Utara, Kecamatan Ujung Pandang, Sulawesi Selatan.
Gereja Toraja Jemaat Bawakaraeng sekarang memiliki gedung yang baru berlantai tiga. Lantai teratas sebagai ruang ibadah, lantai tengah sebagai ruang serba guna, dan lantai bawah sebagai tempat parkir dan kantor sekretariat.
Ini merupakan gedung Gereja Toraja pertama yang berlantai tiga di Makassar. Lokasinya sangat strategis, berada di jalan poros utama di Kota Makassar.
Pada gambar desain bangunan gedung gereja dibuat menyerupai Tongkonan yang bermakna suatu harapan. Desain Tongkonan ini juga memiliki makna sejarah dan merupakan lambang persekutuan orang Toraja.
Awal mula Jemaat Bawakaraeng
Gereja Toraja Jemaat Bawakaraeng yang sekarang dulunya dikenal dengan nama “Gereja Maros”, sebelumnya lagi dikenal dengan nama “Gereja Renggang”. Ini merupakan jemaat Gereja Toraja pertama di Kota Makassar,
Persekutuan umat Kristiani orang-orang Toraja ini bahkan sudah dimulai 20 tahun sebelum Gereja Toraja secara resmi berdiri pada tahun 1947 atau sekitar tahun 1927an.
Jemaat ini awalnya merupakan persekutuan ibadah umat Kristen orang Toraja dengan menggunakan rumah panggung sederhana.
Setelah lebih dari 90 tahun, kini tempat itu menjelma menjadi gedung Gereja Toraja yang megah dan menjadi salah satu ikon Toraja di Kota Daeng ini.
Tahun 1920-an, orang-orang Toraja yang sudah menempuh pendidikan yang layak (biasanya lulusan SMA) dan sebagian besar sudah memeluk agama Kristen (dari kepercayaan Aluk To Dolo) mulai hijrah ke Makassar.
Mereka menginap di sebuah rumah panggung di kampung Renggang (sekarang berlokasi di belakang Gedung Geraja yaitu di sekitar jalan Gunung Lompobattang, Sungai Kelara, Sungai Tallo, Sungai Cerekang, sampai jalan Gunung Bulusaraung).
Karena sebagian besar sudah beragama Kristen, mereka terpanggil untuk bersekutu dan beribadah pada setiap Hari Minggu.
Maka jadilah rumah panggung itu berfungsi ganda yakni sebagai tempat penginapan bagi mereka, yang baru datang dari kampung, dan juga sebagai tempat beribadah.
Rumah panggung itu kemudian disebut dengan nama Banua Porimpunganna Toraya atau rumah perhimpunan/kerukunan rumpun Toraja (dialek Mamasa).
Dalam perjalanan selanjutnya, selain orang Toraja sendiri, semakin banyak orang Kristen diaspora yang datang di Makassar baik yang berasal dari Mamasa, Batak, Ambon, dan Manado.
Mereka semua bergereja di tempat itu, maka dari tahun 1927 sampai tahun 1947 gereja itu disebut Gereja Prostestan Makassar.
Pdt A J Anggui dalam Majalah Sulo tahun 2006 menuliskan, Kota Makassar ditetapkan sebagai salah satu wilayah pelayanan Konferensi para Zendeling dan berada di bawah resort pelayanan Makale-Sangalla’ sejak 1928.
Menurut KBBI, Zendeling adalah penyebar Agama Kristen.
Hal itu didasarkan pada adanya permintaan dari Perserikatan Toraja di Makassar yang sudah sering mengadakan kebaktian keluarga Toraja, walaupun belum teratur secara periodik.
Pada bulan Oktober tahun 1928, Ds DJ van Dijk sudah melayani Baptisan dan Perjamuan Kudus di kalangan orang-orang Toraja yang ada di Makassar.
Tercatat pelayanan baptisan pertama dilakukan pada tanggal 14 Oktober 1928, tanggal ini kemudian disepakati oleh Majelis Gereja Jemaat Bawakaraeng menjadi hari jadi Jemaat Bawakaraeng.
Pada tahun 1928 itu, pertemuan-pertemuan berkala sudah diadakan pada setiap hari Selasa malam di rumah seorang anggota pengurus yakni P Ruruk, seorang juru tulis kepolisian di Kota Makassar.
Pertemuan setiap hari Selasa malam ini sering dilayani oleh JF Pelupessy, seorang pendeta bantu dari Gereja Protestan di Makassar.
Ia juga mengajarkan katekisasi (pemahaman tentang iman Kristen), karena banyak anggota Kristen yang sudah menerima Baptisan kudus namun belum memperoleh pemahaman yang cukup tentang hal ini.
Perserikatan Toraja
Dalam daftar anggota Perserikatan Toraja yang dilampirkan pada surat yang dikirim oleh Pengurus ke Konferensi Zendeling di Kota Rantepao pada bulan Juni 1929, diindikasikan bahwa perserikatan tersebut memiliki anggota yang terdaftar sebanyak 241 orang (laki-laki dan perempuan, bukan kepala keluarga).
Tercatat pula daerah asal mereka yang meliputi Rantepao, Mamasa, Suppiran, Ranteballa, hingga Makale.
Sebagian besar dari mereka beragama Protestan, sedang selebihnya beragama Katolik dan Islam.
Pekerjaan mereka cukup beragam, meliputi guru, anggota ABRI (Polisi/TNI), buruh, sopir, mandor, pegawai, dan lain sebagainya.
Pada bulan Juni 1929, surat edaran yang ditandatangani oleh P Ruruk asal Makale, K Kadang asal Rantepao, Benyamin asal Makale, K Kasewa asal Mamasa, dan AS Turu asal Ranteballa (dengan tanda tangan yang jelas terbaca: A Situru), ditujukan kepada para Zendeling, dan juga kepada para Parengnge’ (orang-orang yang dipilih langsung oleh masyarakat melalui mekanisme tertentu untuk menjalankan tugas seperti menyelesaikan konflik dalam masyarakat).
Mereka meminta bantuan dana yang akan digunakan untuk membeli atau membangun sebuah rumah yang akan difungsikan sebagai Passanggrahan dan Perhimpunan orang-orang Kristen Toraja.
Dinyatakan bahwa Passanggrahan tersebut akan dimanfaatkan dan atau difungsikan sebagai tempat transit atau tempat penampungan orang-orang Toraja (termasuk Toraja Mamasa) yang baru tiba di Kota Makassar.
Ketika itu, banyak orang-orang Toraja yang datang di Makassar tanpa ada kejelasan mengenai tempat tinggal.
Keinginan mereka yang dituangkan melalui surat edaran tersebut di atas, mendapat sambutan yang baik, yang antara lain dapat terlihat dari banyaknya pihak yang turut memberi sumbangannya.
Tercatat sebanyak 47 orang penyumbang antara lain adalah Zending Mamasa, Zending Rantepao-Makale, Puang (bangsawan) Sangngalla’, Puang (bangsawan) Makale, Parengnge’ Talion, Parengnge’ Nanggala, Perengnge’ Pangala’, Parengnge’ Kesu’, dan lain-lain.
Awal tahun 1929, Zending Mamasa dan Zending di Makale-Rantepao telah menyepakati bahwa pelayanan bagi kalangan orang-orang Toraja di Makassar dilayani secara bersama-sama.
Biaya yang bersangkut-paut dengan pelayanan itu, dua pertiganya ditanggung oleh Zending dari Makale-Rantepao dan sepertiganya oleh Zending Mamasa (menurut Ds A Bikker).
Selain itu, Gereja Protestan di Makassar dan Zendling yang melayani di Poso, juga memberikan sumbangan atau kontribusi secara teratur untuk mendukung pelaksanaan kegiatan pelayanan bagi umat.
Atas usul Ds A Bikker, Konferensi Zendeling (GZB) di Makassar menempatkan seorang guru asal Maluku yang bernama A Siahainenia untuk melayani umat Kristen Toraja di Makassar.
Guru ini dimutasi dari Uluwai dan bertugas melayani sebagai guru Injil sampai dengan tahun 1935.
Sementara itu, pelayanan kependetaan dipercayakan kepada Ds A Bikker dari Mamasa. Kerja sama antara kedua Badan Zending ini berlangsung sampai tahun 1955, dalam bentuk Jemaat Gereja Toraja Makassar.
Pada tahun 1955, sebagian besar warga Gereja Toraja Makassar yang berasal dari Mamasa mendirikan jemaat sendiri yang berlokasi di jalan Gunung Salahutu dan bergabung pada Gereja Toraja Mamasa (GTM). (*/bersambung).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.