Demokrasi yang Membusuk dan Penghianatan Kaum Intelektual?

Para pemilih pemula, yang kelak boleh jadi akan menjadi pemimpin 10 atau 20 tahun ke depan,  sudah menikmati uang politik? 

|
Editor: Apriani Landa
TRIBUN-TIMUR.COM / SAUKI
PSU PALOPO - Penghitungan suara hasil PSU Palopo di sebuah Tempat Pemungutan Suara (TPS), Sabtu (24/5/2025). 

Sebuah Catatan Pinggir - Pasca PSU Kota Palopo

"Dosa besar seorang intelektual adalah ketika ia mengetahui kebenaran, tapi takut dan tak mau mengungkapkan kebenaran itu" - Julien Benda, Novelis dan Filsuf  Prancis -

TRIBUNTORAJA.COM - Kisah ini bermula, 23 Mei 2025 lalu. Ini sehari menjelang Pemungutan Suara Ulang (PSU) Kota Palopo yang akan digelar keesokan harinya, pada hari Sabtu, 24 Mei 2025 di 260 TPS yang tersebar di 48 kelurahan dan 9 kecamatan. 

Dengan Jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang terakhir terdaftar di KPU sebesar 125.572 pemilih.

Pada sebuah pagi menjelang siang, saya bersama anggota tim survei dari lembaga kami, Visi Indonesia Consulting, berkunjung ke sebuah tempat yang ramai di kunjungi pada setiap akhir minggu, tepatnya di Kelurahan Kambo, kecamatan Mungkajang. 

Sebagai orang yang baru pertama kali mengunjungi Kambo, tujuan saya hari itu jelas, untuk melepas kepenatan dan mencari udara sejuk, sembari merefleksi hasil temuan tim kami selama melakukan survei terkait Perilaku Pemilih dan Praktik Money Politik Kota Palopo menjelang PSU (beberapa rilis hasil survei kami, sudah diberitakan di media yang sama selama periode April dan Mei 2025)

Kurang dari 20 menit dari Kota Palopo, kami tiba di jalan berkelok menuju Puncak Kambo. Kami tak punya tujuan khusus terkait tempat singgah, olehnya itu saya berinisitiaf untuk bertanya ke sebuah kerumunan anak SMA berseragam pramuka yang sedang duduk bercengkrama di dalam sebuah cafe, jumlahnya masih saya ingat betul, 9 orang. 

Usianya saya perkirakan sudah masuk usia memilih, beberapa diantara mereka terlihat dewasa dan merokok. 

Setelah memarkir motor, saya menghampiri kerumunan itu dan bertanya tentang tempat terbaik untuk melihat Palopo dari puncak Kambo. 

Mereka lalu menyebut beberapa nama cafe, dan sebuah tempat yang katanya paling tepat untuk melihat Kota Palopo dari puncak, namanya Buntu Dengen.

Oleh karena saya menduga mereka sudah usia memilih pemula, saya lalu bertanya ke berapa orang diantara mereka, "Siapa saja yang akan pergi memilih esok tanggal 24 Mei?" 

5 dari sembilan itu menyahut, "Saya om”. 

Lalu naluri surveyor saya bertanya secara santai, “Siapa yang akan kalian pilih besok?” 

Mereka saling memandang, dan nyaris kompak menjawab, “Adami om”. 

Saya kejar jawabannya sambil menanyakan lagi, "Nomor berapa?." Mereka kompak menjawab sambil tertawa,"Yang bagi uang om."

Saya tak melanjutkan pertanyaan saya saat itu. Saya tak ingin mengganggu pikiran mereka dengan kegembiraan yang mereka rayakan hari itu. 

Sebab mereka menjawab dengan penuh percaya diri dan sambil tertawa, bahwa yang mereka pilih adalah "yang membagi uang".

Kepala saya dipenuhi pikiran “marah”. 

Separah inikah negeriku? Sejumlah anak Indonesia, di sebuah kota yang berpredikat Kota Idaman, anak-anak masa depan, di pemilihan pertama mereka, yang kelak boleh jadi akan menjadi pemimpin 10 atau 20 tahun ke depan,  sudah menikmati uang politik? 

Dan dengan gembiranya "menerima kebenaran demokrasi" bahwa untuk menjadi seorang pemimpin kota, kita cukup mendata orang-orang yang bersedia datang ke TPS, dan menyediakan uang untuk para pemilih?

Siapa yang harus memikul tanggungjawab ini? Tanggungjawab masa depan politik generasi penerus kepemimpinan, para calonkah? Atau orangtua mereka? 

Sadarkah para orang tua mereka bahwa saat mereka menerima uang dari salah satu calon, sesungguhnya “mereka sedang mengubur masa depan politik generasi muda dan impian anak-anak mereka untuk menjadi pemimpin”. 

Bahwa anak-anak muda cerdas yang tertarik pada dunia politik dan ingin mengabdi di masa depan untuk kotanya, tidak perlu lagi sekolah tinggi dan belajar ilmu kepemimpinan, cukup mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, dan maju sebagai calon jika sudah punya uang bermilyar-milyar. 

Sebab hanya dengan uang bermiliar-miliar, mereka bisa terpilih.

Lalu, bagaimana dengan tokoh-tokoh agama dan tokoh intelektual kota Palopo? Termasuk bagaimana tanggungjawab penyelenggara, dalam hal inianggota Komisi Pemilihan Umum (KPU)? 

Apakah mereka hanya bersandar pada demokrasi prosedural, yaitu cukup dengan mengumumkan jadwal dan meminta melengkapi semua berkas administrasi para calon, lalu meminta para calon mengikuti seluruh tahapan dan kampanye, kemudian menghitung pasangan mana yang meraih suara terbanyak, lalu selanjutnya mengumumkannya secara terbuka bahwa inilah pemenang PSU Kota Palopo? 

Pun halnya penyelenggara lainnya, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Apa yang mereka sesungguhnya awasi dari PSU ini?

Apakah semacam seremoni mencatat siapa yang paling berpotensi melakukan pelanggaran, mencatat dan mendokumentasikannya, kemudian mengeluarkan rekomendasi bahwa ini harus “diuji lagi” di KPU?

Hanya sebatas itukah kuasa dan keberanian Bawaslu? Ataukah, sesungguhnya (kalau mereka mau jujur) pun mereka tahu dan sadari secara kasat mata, betapa "busuknya" proses demokrasi yang secara massif menggunakan politik uang untuk meraih dukungan pemilih di kota Palopo. 

Begitu juga dengan “titah” Gubernur Sulawesi Selatan, yang mengancam para calon saat Deklarasi Pilkada Damai yang dihadiri para calon pada tanggal 7 Mei 2025 di KPU Kota Palopo, bahwa “Siapapun yang berani melakukan politik uang, pasti akan didiskualifikasi”. 

Adakah marwah dari titah Sang Gubernur, yang dengan jelas menurunkan Tim Satgas Anti Money Politik di Kota Palopo?

Saya sangat yakin bahwa mereka-mereka yang terhormat ini, Gubernur, para penyelenggara, pengawas, aparat hukum, serta para tokoh intelektual kota Palopo, sesungguhanya adalah  para intelektual terpilih untuk mengawal moral demokrasi. 

Bahwa demokrasi itu bukan hanya soal tanggunggungjawab menjalankan proses demokrasi yang prosedural, tapi juga secara moral bertanggungjawab melahirkan demokrasi substansial, yaitu melahirkan kepemimpinan yang jujur dan bersih demi masa depan sebuah daerah, dan masa depan Indonesia menuju Indonesia Emas 2045. 

Mudah-mudahan para tokoh, penyelenggara dan pengawas yang intelek ini, tidak sedang mengkhianati kecerdasan dan moral intelektual mereka. Kami berharap, mereka dengan berani menyatakan, bahwa yang benar adalah benar.

Hal ini seperti yang dikatakan Julian Benda (1867-1956), seorang novelis dan filsuf Prancis dalam bukunya La Trahison des Clercs (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Winarsih P Arifin dengan judul “Pengkhianatan Kaum Intelektual" ). 

Buku ini banyak menjadi rujukan oleh para cendekiawan dunia, termasuk kaum intelektual di Indonesia. 

Kata Julian Benda, "Dosa besar seorang intelektual adalah ketika ia mengetahui kebenaran, tapi takut dan tak mau mengungkapkan kebenaran itu." 

Tabe.

Penulis: Saparuddin Santa
Peneliti dan Direktur Eksekutif Visi Indonesia Consulting

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved