Kekerasan Terhadap Jurnalis Terus Meningkat, AJI: Kebebasan Pers di Indonesia Memburuk

Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, perlindungan akan kebebasan pers kian menipis. 

Editor: Apriani Landa
TRIBUN TIMUR/SANOVRA
KEBEBABASAN PERS - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar memakai topeng hitam putih saat memperingati Hari Kebebasan Pers se-Dunia di bawah Jembatan Flyover Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (3/5/2021). AJI mengingatkan pemerintah pentingnya kebebasan pers. 

Pada 2024, Indonesia berada di peringkat 111 di dunia dan pada 2023 di peringkat ke-108. 

“AJI percaya bahwa jurnalis adalah benteng kokoh bagi demokrasi yang sehat. Di tengah krisis demokrasi yang melanda Indonesia, Hari Kebebasan Pers Dunia bukan sekadar peringatan, namun seruan untuk memperkuat solidaritas, bersatu untuk melawan represi, menciptakan jurnalisme yang bermutu, dan terus berpihak pada kepentingan public," kata Nany. 

"Hanya dengan pers yang bebas, independen, dan berkelanjutan, demokrasi bisa bertahan," tambahnya.

Meluasnya PHK dan kesempatan kerja jurnalis akan berdampak pada kualitas informasi yang diterima publik. 

Tema WPFD 2025 yaitu "Reporting in the Brave New World-The Impact of Artificial Intelligence on Press Freedom and the Media".

Tema ini menantang perusahaan media dan jurnalis untuk dapat meningkatkan profesionalisme serta kapasitasnya. 

AJI memandang kehadiran AI atau kecerdasan artifisial dalam industri media sebagai perkembangan yang tidak dapat dihindari, seiring ketidakjelasan model bisnis yang berkelanjutan. 

Pemanfaatan AI dalam rangkaian produksi berita memang dapat memangkas berbagai proses mulai dari transkrip, menerjemahkan, hingga mengedit kerangka tulisan atau cerita. Namun, harus tetap melibatkan verifikasi dan konfirmasi oleh manusia. 

“Perusahaan media sebaiknya memprioritaskan peran jurnalis meski ada teknologi AI. Teknologi tetap tidak bisa menggantikan peran jurnalis yang memahami konteks dan dapat melakukan verifikasi dan konfirmasi yang belum bisa digantikan mesin atau algoritma,” ujar Adi Marsiela dari Bidang Internet AJI Indonesia.

Hal serupa berlaku bagi para pembuat konten karena kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak dibatasi khusus bagi jurnalis. 

Semuanya diharapkan menegakkan etika dan akuntabilitas saat mengunggah konten berbasis AI di berbagai platform. Tujuannya satu, publik dapat memahami dan memilah informasi dengan baik. 

Apalagi jika media dan jurnalis masih dalam tahapan memanfaatkan produk AI yang dikembangkan oleh perusahaan yang tidak memahami konteks Indonesia. 

Bias algoritma, kurangnya transparansi dari pengembang AI, serta proses editorial yang terburu-buru berpotensi mengaburkan fakta dan menyesatkan pembaca. 

“Kami mendorong seluruh perusahaan media mematuhi pedoman resmi dari Dewan Pers terkait penggunaan kecerdasan artifisial. Selain itu, setiap perusahaan juga hendaknya membuat aturan tertulis mengenai pemanfaatan serta pelatihan berkelanjutan soal AI bagi para jurnalisnya,” tutur Adi.

Selain itu, Adi mengingatkan pentingnya bagi setiap jurnalis dan perusahaan media memahami risiko yang mungkin muncul saat memanfaatkan AI dalam kesehariannya. 

Karena teknologi AI memungkinkan pemantauan hingga pengawasan terhadap jurnalis oleh pihak-pihak yang tidak setuju dengan kritik dari media. 

Hal ini dapat mengancam kebebasan dan keselamatan jurnalis yang juga mempengaruhi transparansi dan akuntabilitas pemerintah. 
(*)

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved