Pele

Selamat Jalan Sang Raja, Bermainlah Bersama Maradona di Langit

Sejumlah surat kabar lokal di Sao Paolo, menuliskan bahwa ‘Pele’, adalah calon bintang dan berpotensi jadi pemain terbesar dalam sejarah sepak bola.

Editor: Apriani Landa
IST
Pele merupakan satu-satunya pemain sepak bola yang pernah pernah memenangkan tiga Piala Dunia. Ia meninggal dunia pada Kamis (29/12/2022) setelah berjuang melawan kanker. 

In Memoriam Pele (1940-2022)

TRIBUNTORAJA.COM - Sepak bola benar adalah taktik, tapi sepak bola juga kegembiraan. Sepak bola harus dimainkan dengan gembira, karena hanya dengan begitu keindahannya keluar. Keindahan, sekaligus ketajaman. Ginga!

Kalimat ini dari Joao Ramos do Nascimento, alias Dondinho, seorang pesepak bola gagal. Ia sempat merumput untuk dua klub besar Brasil, Atletico Mineiro dan Fluminense, tapi tidak banyak memberi arti hingga kemudian dilego ke Bauru Atletico Clube (AC).

Ia bermain selama enam musim (1946-1952) hingga terpaksa menepi lantaran cedera lutut parah.

Setelah tak lagi jadi pesepakbola, perekonomian keluarga Dondinho terjun bebas. Tanpa bekal pendidikan yang memadai, tanpa kemampuan dan ketrampilan di luar menyepak bola, ia pun hanya bisa mendapatkan pekerjaan sebagai pembersih kamar kecil di Tres Coracones, kota kecil berjarak hampir 250 km dari Rio De Janeiro.

Lantaran penghasilan yang sangat kecil, istrinya, Celeste Arantes, juga harus ikut banting tulang membantu Dondinho menghidupi keluarga mereka, anak-anak mereka: Edson Arantes do Nascimento, Maria Lucia Nascimento, dan Jair Arantes do Nascimento.

Jungkir balik karier Dondinho yang berakhir mengenaskan, membuat Celeste Arantes tidak menginginkan anak-anak lelakinya menjadi pesepakbola. Celeste bermimpi mereka menjadi pegawai pemerintah, atau insinyur, atau dokter.

Tatkala anak pertama mereka lahir pada 23 Oktober 1940, Celeste memberinya nama ‘Edson’, dari ‘Edison’, nama belakang ilmuwan dan penemu lampu pijar berkebangsaan Amerika Serikat, Thomas Alva Edison. Pertengahan tahun itu, listrik mulai mengalir di Brasil.

Namun siapa bisa membelokkan garis takdir? Seberapa kuat upaya Celeste Arantes menjauhkan Edson dari sepak bola tetap saja gagal. Makin dijauhkan, Edson - yang dipanggil Dico, justru makin dekat ke lapangan hijau.

Dari jalanan, dari lapangan-lapangan tanah merah yang keras dan berdebu, ia merapat ke Bauru AC, klub terakhir ayahnya.

Tak berselang lama, dalam usia 15, ia telah di Santos, klub paling elite di Brasil saat itu. Perekrutan yang dilakukan Santos meletupkan kegemparan besar.

Apalagi, setelah sejumlah surat kabar lokal di Sao Paolo, menuliskan bahwa ‘Pele’, adalah calon bintang dan berpotensi jadi pemain terbesar dalam sejarah sepak bola.

Dico saat itu memang sudah dipanggil Pele, satu alias yang sebenarnya berangkat dari ejekan.

Dalam kolomnya di Guardian, tahun 1996, Pele menulis bahwa ‘Pele’ dilontarkan kawan-kawannya lantaran ia kerap meneriakkan kalimat ‘Ayo, Bile!’, ‘Penyelamatan yang bagus, Bile!’, tiap kali iseng mengisi posisi kiper dalam permainan ecek-ecek di sekolah.

Bile adalah Moacir Barbosa Nascimento, kiper tersial sepanjang masa. Gara-gara kesalahan yang dilakukannya di menit-menit akhir pertandingan final Piala Dunia 1950 (versus Uruguay), rakyat Brasil mengingat kejadian itu turun-temurun sebagai ‘Tragedi Maracana’.

Bile meninggal dalam kemiskinan tahun 1997, dengan pemakaman yang hanya dihadiri oleh beberapa orang. Istrinya sudah meninggal lebih dulu dan mereka tidak memiliki anak.

Seorang kawannya, Teresia Borba, membacakan pesan terakhir Bile yang hanya berupa kalimat singkat: ‘Bukan hanya saya yang salah, waktu itu di lapangan kami sebelas orang’.

‘Bile’ menjadi ‘Pele’ melulu karena logat Dico ketika meneriakkannya membuat huruf ‘B’ dan ‘I’ jadi terdengar mirip ‘P’ dan ‘E’.

Ia awalnya tidak suka. Namun lantaran terus-menerus dilontarkan, lama-kelamaan ia terbiasa. Bahkan mulai menikmatinya.

Dalam ‘Pele: The Autobiography’, Pele menyebut alias ini seperti membawa keberuntungan baginya: “Ketika usia saya 15, saya sudah berada di Santos”.

Pencapaian yang sungguh gemilang di usia yang masih kelewat belia. Namun justru di sini masalah bermula. Kegagalan di Piala Dunia 1950 dan 1954, membuat sebagian besar petinggi otoritas sepak bola Brasil menginginkan perubahan gaya bermain.

Gaya sepak bola Brasil mereka nilai sudah usang, tertinggal dari gaya yang dikembangkan negara-negara Eropa. Sepak bola harus presisi. Sepakbola harus keras dan cepat. Pemain tidak perlu berlama-lama dengan bola. Otoritas memerintahkan kepada klub-klub untuk mengadopsi gaya ini, tak terkecuali Santos.

Sebagai pemain muda Pele tentu saja mencoba mengikuti, dan ia gagal. Filosofi Ginga yang ditanamkan Dondinho telah berurat berakar dalam dirinya.

Sepak bola “presisi” gaya Eropa menggerus kegembiraan, dan Pele, tidak bisa bermain bola dalam keadaan tidak gembira. Kehebatannya tidak keluar.

Situasi serupa dialaminya saat dipanggil memperkuat Tim Nasional Brasil di Piala Dunia Swedia 1958. Brasil mempekerjakan Vicente Ítalo Feola sebagai pelatih kepala.

Feola lahir dan besar di Sao Paolo dan menjadi pelatih Sao Paolo untuk setidaknya enam periode (tidak beruntun) dari tahun 1937-1958.

Feola bukan asli Brasil. Ibu dan bapaknya memiliki darah Italia, dan sejak otoritas sepak bola Brasil mengkampanyekan gerakan menuju “sepak bola modern”, Feola termasuk yang paling getol memberi dukungan. Sao Paolo di tangannya, bermain seperti klub-klub Eropa.

Pele terpinggirkan di skuat Brasil sampai kemudian gelombang cedera datang menghantam. Jose Altafini atawa Mazzola, striker kesayangan Feola, mengalami cedera.

Mau tak mau, pada laga perempat final melawan Wales, Feola menurunkan Pele. Ia berpesan agar Pele tetap bermain dengan gaya Eropa.

“Saya mengangguk, saya tidak melawan pelatih,” kata Pele dalam otobiografinya. “Tapi dalam hati saya, dalam kepala saya, yang terngiang justru kata-kata ayah saya.”

Pertandingan dimenangkan Brasil 1-0, Pele mencetak gol, dan selebihnya –kita tahu– adalah sejarah. Brasil memenangkan Piala Dunia 1958, lalu memenangkan lagi di tahun 1962 dan 1970, masih dengan Pele di dalamnya.

Total ia bermain di empat edisi piala dunia, termasuk 1966 yang berakhir buruk. Brasil kandas di babak penyisihan grup.

Empat piala dunia, 14 pertandingan, 12 gol, cukup menjadi alasan bagi rakyat Brasil untuk memujanya. Memang, di Brasil tidak sampai muncul “agama” baru sebagaimana orang-orang di Argentina menahbiskan Diego Armando Maradona sebagai “Tuhan”. (bersambung/ (tribunnetwork/t agus khaidir))

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved